Selasa, 31 Januari 2012

MISTENIA GRAVIS


BAB II
KONSEP TEORITIS PENYAKIT
2.1 Definisi
               Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal).
Miastenia gravis ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular.
2.2 Etiologi
Miastenia Gravis menyebabkan kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada sambungan neuromuskuler. Secara teoritis, kerusakan seperti ini dapat diakibatkan dari reaksi autoimun atau tidak dapat berfungsinya aktivitas neurotransmiter.
Miastenia Gravis menyerang semua usia, namun penyakit ini paling banyak ditemukan pada usia antara 20 sampai 40 tahun. Miastenia Gravis menyerang wanita 3 kali lebih banyak dari pria, tetapi setelah usia 40 tahun, penyakit ini tampaknya menyerang baik pria maupun wanita secara seimbang.
Sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia Gravis akan memiliki miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen). Penyakit ini akan muncul bersamaan dengan gangguan sistem kekebalan dan gangguan tiroid, sekitar 15%
penderita miastenia gravis mengalami thymoma (tumor yang dibentuk oleh jaringan kelenjar timus). Remisi terjadi pada 25% penderita penyakit ini.
2.3 PATOGENESIS/PATOFISIOLOGI
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70% - 90% reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap langsung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
2.4 Manifestasi klinisnya
Miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung
.                       Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare dan demam.


3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya.
















2.5 WOC / Web of caution


















Rounded Rectangle: Gangguan autoimun

















































Rounded Rectangle: Kerusakan tranmisi impuls saraf

















































Rounded Rectangle: Kerusakan asetil kolin

















































Rounded Rectangle: Disfungsi neurotransmiter

















































Rounded Rectangle: Kelemahan otot volunter
















































Rounded Rectangle: Kelemahan otot pernafasan






































Rounded Rectangle: Dysfagia

Rounded Rectangle: Nafas Dyspnea

















































Rounded Rectangle: MK :  Ketidakefektifan
Dalam bernafas




Rounded Rectangle: MK : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh




















2.6 Penatalaksanaan
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki omset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
2.7 Komplikasi
Ø Bisa timbul miastenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak diawasi

Ø  Pneumonia

Ø Bullous death
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:


1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik

biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.





BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Identitas klien                         : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status

Keluhanutama             : Kelemahan otot

Riwayat kesehatan      : Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
·         B1 (Breathing)

Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut
·         B2 (Bleeding)

Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
·         B3 (Brain)

Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik

·         B4 (Bladder)

Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
·         B5 ( Bowel)

Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
·         B6 (Bone)

Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
3.2 Pemeriksaan fisik
            Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita


harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi




3.3 Analisa Data
NO
DATA
ETIOLOGI
MASALAH KEPERAWATAN
1
·         DO:
Klien tampak sesak

Kelemahan otot pernafasan

Kerusakan pertukaran gas 
2
·         DO:
Klien tampak lelah, dan lemas

Kelemahan otot, keletihan umum 

Deficit perawatan diri
3
·         DO:
Klien tampak pucat, lemas dan berat badannya menurun

Disfagia, intubasi, paralisis otot

Perubahan nutrisi

3.4 Kemungkinan diagnosa keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan potensial pasien dapat meliputi hal berikut: :

1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan

2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.

Pembahasannya:
1.      Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan

Tujuan :

- Pasien akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat

a. Lakukan pendekatan pada klien dengan komunikasi alternative jika klien menggunakan ventilator

b. Catat saturasi O2 dengan oksimetri, terutama dengan aktifitas

c. Ukur parameter pernafasan dengan teratur

d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antikolinergik

e. Sucktion sesuai kebutuhan (obat-obatan antikolinergik meningkatkan sekresi bronkial)
2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum

 Tujuan ;

-Pasien akan mampu melakukan sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias

a. Buat jadwal perawatan diri dengan interval

b. Berikan waktu istirahat diantara aktivitas

c. Lakukan perawatan diri untuk pasien selama kelemahan otot yang sangat berlebihan atau sertakan keluarga

d. Peragakan tehnik-tehnik penghematan energi

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
 Tujuan :

-Masukan kalori yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik

a. Kaji reflek gangguan menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral

b. Hentikan pemberian makan peroral jika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan

c. Pasang selang makan kecil dan berikan makan perselang jika terdapat disfagia.

d. Catat intake dan output

e. Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori

f. Timbang pasien setiap hari.
3.5 NCP / Rencana askep untuk 3 diagnosa
            Meliputi diagnosa keperawatan :
1.    Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2.    Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
3.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Pasien akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
Meningkatkan pertukaran gas dalam pernafasan
Memberikan bantal agar pasien merasa nyaman.
Merelaksasikan otot otot yang lemah, agar dapat memperbaiki kondisi pernafasan pasien
Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
Pasien akan mampu melakukan sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias
·         Menunjukkan rasa nyeri yang hilang dan terkontrol
·         Terlihat rileks, dapat tidur ataupun beristirahat dan beraktivitas sesuai kemampuan
·         Sedikit keluhan nyeri, catat factor – factor yang dapat mempercepat dan tanda – tanda rasa sakot nonverbal
·         Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk di kursi maupun di tempat tidur. Tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi.
·         Mengistirahatkan sendi sendi yang nyeri maupun sakit, mempertahankan posisi netral dan mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi, menstabilkan sendi, mengurangi gerakan atau rasa sakit pada sendi.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
Masukan kalori yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolic
Tercapainya pemenuhan nutrisi yang adekuat.
Pemberian asupan nutrisi yang sesuai dengan kondisi tubuh pasien
Meningkatkan intake atau pemasukan nutrisi kedalam tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas kunjungannya..
semoga bermanfaat.. :)