Selasa, 31 Januari 2012

CEREBREL PALSY


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada sel-sel otak dalam kurun waktu perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little (1843), yang menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy, sedangkan Sigmud Freud menyebutnya dengan istilah infantile Cerebra)Paralysis.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi yang diambil, cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insidensi cerebral palsy di Eropa (1950) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup, Gilory memperoleh 5 dan 1000 anak memperlihatkan deficit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy, 50 % kasus termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah penderita yang memerlukan perawatan khusus, 25 % mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30 % kasus menunjukkn IQ di bawah 70, 35 % disertai kejang, sedangkan 50 % menunjukan gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak dari pada wanita ( 1,4 : 1,0).
Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian, yaitu masa pranatal (saat bayi masih dalam kandungan), perinatal (saat persalinan), dan postnatal (sesaat setelah persalinan).
Dampak dari cerebral palsi antara lain : kontraktur yaitu sendi tidak dapat digerakkan atau ditekuk karena otot memendek, skoliosis yaitu tulang belakang melengkung ke samping disebabkan karena  kelumpuhan hemiplegia, dekubitus yaitu adanya suatu luka yang menjadi borok akibat mengalami kelumpuhan menyeluruh, sehingga ia harus selalu berbaring di tempat tidur, deformitas (perubahan bentuk) akibat adanya kontraktur. Penatalaksaan dari serebral palsy adalah dengan cara medik, fisioterapi, pembedahan, obat-obatan, reedukasi dan rehabilitasi.

1.2        Rumusan Masalah
1.        apa definisi dari cerebral palsy ?
2.        apa etiologi dari cerebral palsy ?
3.        apa klasifikasi dari cerebral palsy ?
4.        bagaimana patofisiologi dari cerebral palsy ?
5.        bagaimana WOC dari cerebral palsy ?
6.        bagaimana manifestasi klinis dari cerebral palsy ?
7.        apa saja penatalaksanaan dari cerebral palsy ?
8.        apa saja komplikasi dari cerebral palsy ?
9.        bagaimana pemeriksaan diagnostic dari cerebral palsy ?
10.    bagaimana pencegahan dari cerebral palsy ?
11.    bagaimana prognosis dari cerebral palsy ?

1.3        Tujuan
1.        untuk mengetahui definisi dari cerebral palsy
2.        untuk mengetahui etiologi dari cerebral palsy
3.        untuk mengetahui klasifikasi dari cerebral palsy
4.        untuk mengetahui patofisiologi dari cerebral palsy
5.        untuk mengetahui WOC dari cerebral palsy
6.        untuk mengetahui manifestasi klinis dari cerebral palsy
7.        untuk mengetahui penatalaksanaan dari cerebral palsy
8.        untuk mengetahui komplikasi dari cerebral palsy
9.        untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari cerebral palsy
10.    untuk mengetahui pencegahan dari cerebral palsy
11.    untuk mengetahui prognosis dari cerebral palsy


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1        Definisi
Cerebral palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin di definisikan sebagai kelainan postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang berkembang. ( Behrman, 1999)
Palsy Cerebralis adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif, oleh karna suatu kerusakan/ gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh/belum selesai pertumbuhannya. (Syam, 2006)
Cerebral palsy ialah suatu gangguan nonspesifik yang disebabkan oleh abnormalitas system motor piramida ( motor kortek, basal ganglia dan otak kecil ) yang ditandai dengan kerusakan pergerakan dan postur pada serangan awal. ( Suriadi, 2006).
Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan ) serta merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologist berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan sebelum juga kelainan mental. ( Ngastiyah, 2000).
Cerebral palsy ialah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik didalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. ( Yulianto, 2000).
Cerebral palsy adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya. ( Santi Wijaya, 1999).











2.2        Etiologi
Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian :
1.        Pranatal
a.         Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom
b.         Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun
c.         Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis
d.        Radiasi sewaktu masih dalam kandungan
e.         Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia  maternal, kelainan umbilikus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain – lain).
f.          Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan, rokok dan alkohol.
g.         Induksi konsepsi.
h.         Riwayat obstetrik (riwayat keguguran, riwayat lahir mati, riwayat melahirkan anak dengan berat badan < 2000 gram atau lahir dengan kelainan morotik, retardasi mental atau sensory deficit).
i.           Toksemia gravidarum. kumpulan gejala–gejala dalam kehamilan yang merupakan trias HPE (Hipertensi, Proteinuria dan Edema), yang kadang–kadang bila keadaan lebih parah diikuti oleh KK (kejang–kejang/konvulsi dan koma). Patogenetik hubungan antara toksemia pada kehamilan dengan kejadian CP masih belum jelas. Namun, hal ini mungkin terjadi karena toksemia menyebabkan kerusakan otak pada janin.
j.           Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena kematian prenatal pada salah satu bayi kembar

2.         Perinatal
a.         Anoksia/hipoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cidera otak. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal demikian terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan seksio sesar.
b.         Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mangakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di ruangsubdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.
c.         Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita pendarahan otak lebih banyak dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, factor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.
d.        Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.
e.         Kelahiran sungsang
f.          Status gizi ibu saat hamil
g.         Bayi kembar
h.         Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa palsi serebral.

3.         Postnatal.
a.         Trauma kepala.
b.         Meningitis/ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan.
c.         Racun : logam berat.
d.        Luka Parut pada otak pasca bedah.

Beberapa penelitian menyebutkan factor prenatal dan perinatal lebih berperan dari pada factor pascanatal. Studi oleh nelson dkk ( 1986 ) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemia prenatal, factor penyebab cerebral palsy.
Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat akhir, sedangkan factor perinatal yaitu segala factor yang menyebabkan Cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan. Sedangkan factor pascanatal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun. ( Hagbreg dkk, 1975 ), atau sampai 5 tahun kehidupan (Stanley, 1982 ), atau sampai 16 tahun (Hod, 1964 )



2.3        Klasifikasi
2.3.1    Berdasarkan Derajat Kemampuan Fungsional
a.      Ringan
Penderita masih bisa mengerjakan pekerjaan aktifitas sehari-hari, sehingga sama sekali tidak atau memerlukan bantuan. Mereka dapat hidup bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.
b.      Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bantuan dan pendidikan khusus agar dapat merawat diri sendiri. Mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-lat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga dapat bergerak, bergaul dan hidup ditengah masyarakat dengan baik.
c.       Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Anak cerebral palsy golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat










2.3.2    Berdasarkan Gejala Klinis
a.       Tipe Spastis atau Piramidal. Pada tipe ini gejala yang selalu ada adalah
1.      Monoplegia / monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
2.      Hemiplegia / hemiparisis. Kelumpahan lengan dan tungkai dipihak yang sama.
3.      Diplegia / diparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi tungkai lebih hebat dari pada lengan.
4.      Tetraplegia / tetraparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai yang lain
5.      Quadriplegia. Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi juga ekstremitas bawah dan juga terjadi keterbatasan (paucity) pada tungkai.













b.      Tipe Ataxia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum.
c.       Tipe athetosis atau koreothetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang ditampakkan adalah gerakan–gerakan yang involunter dengan ayunan yang melebar. Athetosis terbagi menjadi :
1.      Distonik
Kondisi ini sangat jarang, sehingga penderita yang mengalami distonik dapat mengalami misdiagnosis. Gerakan distonia tidak seperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia lainnya. Umumnya menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal. Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama pada leher dan kepala.
2.      Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan involunter, tidak terkontrol, berulang–ulang dan kadangkala melakukan gerakan stereotype.

d.      Atonik
Anak-anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas dan kelemahan pada kaki. Walaupun mengalami hipotonik namun lengan dapat menghasilkan gerakan yang mendekati kekuatan dan koordinasi normal.

e.       Tipe Campuran
Gejala-gejalanya merupakan campuran dari 2 gejala tersebut diatas.







2.4        Patofisiologi
Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya, menyebabkan otak sebagai subyek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral ischemia yang terjadi sebelum minggu ke–20 kehamilan dapat menyebabkan defisit migrasi neuronal, antara minggu ke–24 sampai ke–34 menyebabkan periventricular leucomalacia (PVL) dan antara minggu ke–34 sampai ke–40 menyebabkan focal atau multifocal cerebral injury.
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor saat terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah ke otak dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap penurunan oksigenasi. Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di daerah paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh tergantung tempat yang terkena.
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran premature seperti imaturitas pada otak dan vaskularisasi cerebral merupakan suatu bukti yang menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian CP. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage pada matrik germinal atau PVL, yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat dimana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak dewasa, hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari arteri cerebral mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik quadriplegia. Ganglia basal juga dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal (seperti koreoathetoid atau distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan seringkali terjadi dalam distribusi arteri cerebral bagian tengah, yang menyebabkan terjadinya fenotip spastik hemiplegia.
Tidak ada hal–hal yang mengatur dimana kerusakan vaskular akan terjadi, dan kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak janin. Autoregulasi peredaran darah cerebral pada neonatal sangat sensitif terhadap asfiksia perinatal, yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan pembentukkan synaps.
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa kehamilan, area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles sangat rentan terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggungjawab terhadap kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki, dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini dapat melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat menyebabkan spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.



2.5         




                                  


2.6        Manifestasi klinis
Manifestasi klinis cerebral plasy tergantung dari bagian dan luas jaringan otak yang mengalami kerusakan :
1.         Spastisitas
a.    Monoplegia / monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
b.    Hemiplegia / hemiparisis
Kelumpahan lengan dan tungkai dipihak yang sama.
c.    Diplegia / diparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi tungkai lebih hebat dari pada lengan.
d.   Tetraplegia / tetraparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai yang lain

2.        Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid (lemas) dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refelek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.
3.        Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid, tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.
4.         Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tamapak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum.
5.         Gangguan pendengaran
Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis.
6.         Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.
7.        Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.

Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus yang berat, bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan.
Gejalanya bervariasi, mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata sampai kekakuan yang berat, yang menyebabkan bentuk lengan dan tungkai sehingga anak harus memakai kursi roda.



2.7        Penatalaksanaan
1.         Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini perlu kerjasama yang baik dan merupakan suatu team antara dokter anak,neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikologi, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa, dan orang tua penderita.
2.        Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orangtua turut membantu program latihan di rumah. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal disuatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakuakan sepanjang penderita hidup.
3.        Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerekan koreoatetosis yang berlebihan.
4.        Obat-obatan
Pasien sebral palsi (CP) yang dengan gejala motorik ringan adalah baik, makin banyak gejala penyertanya dan makin berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya. Bila di negara maju ada tersedia institute cerebral palsy untuk merawat atau untuk menempung pasien ini.
5.         Reedukasi dan rehabilitasi.
Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri. Fisioterapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent  untuk aktivitas sehari-hari. Fisioterapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisioterapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.
6.        Tindakan keperawatan
Mengobservasi dengan cermat bayi-nayi baru lahir yang beresiko ( baca status bayi secara cermat mengenai riwayat kehamilan/kelahirannya . jika dijumpai adanya kejang atau sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera memberitahukan dokter agar dapat dilakukan penanganan semestinya. Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan pada otak walaupun selama di ruang perawatan tidak terjadi kelainan agar dipesankan kepad orangtua/ibunya jika melihat sikap bayi tidak normal supaya segera dibawa konsultasi ke dokter.

2.8        Komplikasi
Ada anak cerebral palsy yang menderita komplikasi seperti :
1.        Kontraktur yaitu sendi tidak dapat digerakkan atau ditekuk karena otot memendek.
2.        Skoliosis yaitu tulang belakang melengkung ke samping disebabkan karena  kelumpuhan hemiplegia.
3.        Dekubitus yaitu adanya suatu luka yang menjadi borok akibat mengalami kelumpuhan menyeluruh, sehingga ia harus selalu berbaring di tempat tidur.
4.        Deformitas (perubahan bentuk) akibat adanya kontraktur.
5.        Gangguan mental. Anak CP tidak semua tergangu kecerdasannya, mereka ada yang memiliki kadar kecerdasan pada taraf rata-rata, bahkan ada yang berada di atas rata-rata. Komplikasi mental dapat terjadi apabila yang bersangkutan diperlakukan secara tidak wajar

2.9        Pemeriksaan Diagnostik
1.        Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis sebral palsi di tegakkan.
2.        Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada serebral palsi. CSS normal.
3.        Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang disertai kejang maupun yang tidak.
4.        Foto rontgen kepala.
5.        Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang dibutuhkan.
6.        Pemeriksaan metobolik untuk menyingkirkan penyebablain dari reterdasi mental.

2.10    Pencegahan
Sebagian besar kasus cerebral palsy tidak dapat dicegah, dikarenakan akar penyebab cerebral palsy bergantung pada waktu kejadiannya. Namun, para peneliti telah mengidentifikasi bahwa faktor risiko cerebral palsy umumnya terjadi pada masa prenatal, persalinan, dan saat anak masih bayi. Faktor risiko ini secara signifikan dapat menyebabkan seorang anak memiliki kemungkinan lebih besar akan mengalami cerebral palsy di kemudian hari. Kelahiran prematur merupakan faktor risiko terkuat. Sedangkan yang lainnya adalah keadaan selama proses kehamilan, persalinan, serta kejadian pada awal masa kanak-kanak.
Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa tips untuk mencegah terjadinya cerebral palsy :
1.        Cegah bayi Anda dari berat badan lahir rendah atau lahir prematur dengan mengikuti pola hidup sehat selama kehamilan, termasuk gizi yang baik, istirahat, dan olahraga yang cukup. Selain itu, hindari alkohol, rokok, dan penggunaan narkoba. Hal ini dikarenakan apabila bayi Anda lahir dengan berat badan rendah, kemungkinan bayi Anda menderita cerebral palsy akan meningkat.
2.        Buat jadwal kunjungan dengan dokter ob-gyn (dokter kandungan) di awal kehamilan yang berfokus pada apa yang dapat Anda lakukan untuk mengurangi risiko kemungkinan melahirkan secara prematur. Hal ini dikarenakan hampir setengah dari semua anak yang menderita cerebral palsy lahir dengan prematur.
3.        Ambil tindakan pencegahan apapun yang diperlukan untuk memastikan bahwa Anda tidak termasuk ke dalam kelompok dengan faktor risiko melahirkan prematur seperti terpapar karbon monoksida, radang, atau infeksi lainnya. Anda juga harus menghindari bekerja sambil berdiri selama berjam-jam, penyakit menular seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga. Dokter kandungan mungkin akan merekomendasikan istirahat total di tempat tidur atau intervensi lainnya jika faktor risiko tersebut telah ada.
4.        Tanyakan pada dokter kandungan tentang kemungkinan pengobatan menggunakan progesteron, yoghurt, pemakaian Clindamycin untuk perawatan pH vagina tinggi, atau mengonsumsi suplemen minyak ikan. Masing-masing pendekatan ini telah terbukti cukup efektif dalam mengurangi faktor risiko kelahiran prematur dan jangan lupa ketika hamil mengkonsumsi sari kurma.
5.        Konsultasikan dengan dokter kandungan mengenai apakah Anda harus mendapat pengobatan untuk mengurangi faktor-faktor yang memperkuat faktor risiko kelahiran prematur seperti tekanan darah tinggi, infeksi saluran kencing, kecemasan, atau diabetes.
6.        Hindari infeksi yang dapat mengakibatkan pelepasan cytokinin beracun ke otak janin selama kehamilan. Infeksi pada ibu hamil memiliki risiko tiga kali lebih besar kemungkinannya menyebabkan anak berkembang menjadi cerebral palsy.

2.11    Prognosis
Prognosis tergantung pada gejala dan tipe serebral palsi. Prognosis paling baik pada derajat fungsional yang ringan. Prognosis bertambah berat apabila disertai dengan retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan pengkiahatan dan pendengaran, infeksi plasenta, plasenta previa, presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik



BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1        Pengkajian
1.         Biodata
a.    Laki-laki lebih banyak dari pada wanita.
b.    Sering terjadi pada anak pertama è kesulitan pada waktu melahirkan.
c.    Kejadin lebih tinggi pada bayi BBLR dan kembar.
d.   Umur ibu lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.
2.         Riwayat kesehatan.
Riwayat kesehaataan yang berhubungan dengan factor prenatal, natal dan post natal serta keadaan sekitar kelaahiran yang mempredisposisikan anoksia janin.
3.        Keluhan dan manifestasi klinik
Observasi adanya manivestasi cerebral palsy, khususnya yang berhubungan dengan pencapaian perkembangan :
a.    Perlambatan perkembangan motorik kasar
Manifestasi umum, pelambatan pada semua pencapaian motorik, meningkat sejalan dengan pertumbuhan.
b.    Tampilan motorik abnormal
Merangkak asimetris abnormal, berdiri atau berjinjit, gerakan involunter atau tidak terkoordinasi, menghisap buruk, kesulitan makan, sariawan lidah menetap.
c.    Perubahan tonus otot
Peningkatan atau penurunan tahanan pada gerakan pasif, postur opistotonik (lengkung punggung berlebihan), merasa kaku dalam memegang atau berpakaian, kesulitan dalam menggunakan popok, kaku atau tidak menekuk pada pinggul dan sendi lutut bila ditarik ke posisi duduk (tanda awal).
d.   Posture abnormal
Mempertahankan agar pinggul lebih tinggi dari tubuh pada posisi telungkup, menyilangkan ataau mengekstensikan kaki dengan telapak kaki plantar fleksi pada posisi telentang, postur tidur dan istirahat infantile menetap, lengan abduksi pada bahu, siku fleksi, tangan mengepal.
e.    Abnormalitas refleks
Refleks infantile primitive menetap (reflek leher tonik ada pada usia berapa pun, tidak menetap diatas usia 6 bulan), Refleks Moro, plantar, dan menggenggam menetap atau hiperaktif, Hiperefleksia, klonus pergelangan kaki dan reflek meregang muncul pada banyak kelompok otot pada gerakan pasif cepat.
f.     Kelainan penyerta (bias ada, bisa juga tidak).
Pembelajaran dan penalaran subnormal (retardasi mental pada kira-kira dua pertiga individu). Kerusakan perilaku dan hubungan interpersonal.

3.2        Diagnosa Keperawatan
1.        Gangguan mobilitas berhubungan dengan kelumpuhan
2.         Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.
3.         Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.
4.         Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.
5.         Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.

3.3        Intervensi
Gangguan mobilitas berhubungan dengan kelumpuhan
Tujuan :
-          meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
-          meningkatkan kekuatan/ fungsi yang sakit
INTERVENSI
RASIONAL
a.       Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/ pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi



b.      Intruksikan pasien untuk/bantu dalam rentang gerak pasien/ aktif pada ekstrimitas yang sakit dan yang tak sakit.



c.       Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tak sakit





d.      Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk /napas dalam.
a.   Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi/ intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.

b.  Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi mencegah kontraktur/atrofi dan resorpsi kalsium karena tidak digunakan

c.   Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan dan masa otot. Catatan: latihan ini dikontraksikan pada peredaran akut/edema

d.  Mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit/ pernapasan ( dekubitus, atelektasis, pneumonia)

Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.
Tujuan :
- Klien melakukaan proses komunikasi.
INTERVENSI
RASIONAL
a.    Beri tahu ahli terapi bicara dengan lebih dini

b.    Bicara pada anak dengan perlahan


c.    Gunakan artikel dan gambar


d.   Gunakan teknik makan

a.    sebelum anak mempelajari kebiasaan komunikasi yang buruk

b.    memberikan waktu padaa anak untuk memahami pembicaraan

c.    menguatkan bicara adaan mendorong pemahaman

d.   membantu memudahkan bicara seperti menggunakan bibir, gigi dan berbagai gerakan lidah.

Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut
Tujuan :
-          Anak berpartisipasi dalam aktivitas makan sesuai kemampuannya
-          Anak mengkonsumsi nutrisi jumlah yang cukup
INTERVENSI
RASIONAL
a.       Baringkan pasien dengan kepala tempat tidur 30-45 derajat, posisi duduk dan menegakkan leher
b.      Berikan makanan semipadat dan cairan melalui sedotan untuk anak yang berbaring pada posisi telungkup
c.       Berikan makanan daan kudapaan tinggi kalori dan tinggi protein
d.      Beri makanan yang disukai anak
e.       Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi mis.susu bubuk atau suplemen yang lain
f.       Pantau berat badan dan pertumbuhan
a.   posisi ideal saat makan sehingga menurunkan resiko tersedak

b.  mencegah aspirasi dan membuat makan/minum menjadi lebih mudah


c.   memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan
d.  mendorong anak agar mau makan
e.   memaksimalkan kualitas asupan makanan

f.   intervensi pemberian nutrisi tambahan dapat diimpementasikan bila pertumbuhan mulai melambat dan berat badan menurun

Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.
Tujuan :
-          Klien tidak mengalami cedera fisik
INTERVENSI
RASIONAL
a.       Beri bantalan pada perabot
b.      Pasang pagar tempat tidur
c.       Kuatkan perabot yang tidak licin
d.      Hindari lantai yang disemir dan permadani yang berantakan.
e.       Pilih mainan yang sesuai dengan usia dan keterbatasan fisik.
f.       Dorong istirahat yang cukup.

g.      Implementasikan tindakan keamanan yang tepat untuk mencegah cedera termal.
h.      Berikan helm pelindung pada anak yang cenderung jatuh dan dorong untuk menggunakannya.
i.        Berikan obat anti epilepsi sesuai ketentuan.
a.   untuk perlindungan
b.  untuk mencegah jatuh
c.   untuk mencegah jatuh.
d.  untuk mencegah jatuh.

e.   untuk mencegah cedera.

f.   karena keletihan dapat meningkatkan resiko cedera.
g.  terdapat kehilangan sensasi pada area yang sakit.

h.  mencegah cedera kepala.


i.    mencegah kejang.

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas
Tujuan :
-          Klien mempertahankan integritas kulit.
INTERVENSI
RASIONAL
a.       Kaji kulit setiap 2 jam dan prn terhadap area tertekan, kemerahan dan pucat.
b.      Tempatkan anak pada permukaan yang mengurangi tekanan
c.       Ubah posisi dengan sering, kecuali jika dikontraindikasikan
a.   pengkajian yang tepat dan lebih dini akan cepat pula penanganan terbaik pada masalah yang terjadi pada klien
b.  mencegaah kerusakan jaringan dan nekrosis karena tekanan
c.   mencegah edema dependen dan merangsang sirkulasi

3.4        Implementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan diprioritaskan pada upaya untuk membantu mobilitas pasien, pasien dapat berkomunikasi, nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, tidak terjadi kerusakan integritas kulit dan pasien tidak mengalami cidera.

3.5        Evaluasi
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai. Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap tindakan keperawatan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien, intervensi keperawatan/hasil pasien yang mungkin diperlukan. Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan yaitu : anak melakukan proses komunikasi, anak mengkonsumsi nutrisi jumlah yang cukup, tidak adanya gejala dekubitus dan pasien tidak mengalami cedera fisik.




BAB 4
PENUTUP

4.1        Kesimpulan
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada sel-sel otak dalam kurun waktu perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya.
Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian, yaitu pranatal, perinatal, dan postnatal yang dimana manifestasi serebral palsy tergantung dari bagian dan luas jaringan otak yang mengalami kerusakan.
Penatalaksanaan dari serebral palsi ialah medik, fisioterapi, obat-obatan, pembedahan, reedukasi dan rehabilitasi

4.2        Saran
Serebral palsy tidak dapat disembuhkan, terapi dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan terapi pada serebral palsy adalah mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan normal dengan mengelola problem neurologis yang ada seoptimal mungkin. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita.


DAFTAR PUSTAKA

Adam, Jason. 2010. Cerebral Palsi. http://jason-adam.blogspot.com/p/cerebral-palsy.html diakses tanggal 29 November 2011 pukul 7 : 26 pm)
Akatsuki. 2011. Askep Klien dengan Cerebral Palsi. http://akatsuki-ners.blogspot.com/2011/02/askep-klien-dengan-cerebral-palsy.html diakses tanggal 29 November 2011 pukul 7 : 21 pm)
Indahnya bersabar. 2011. Pencegahan Cerebral Palsi. http://indahnyabersabar.wordpress.com/2011/03/27/pencegahan-cerebral-palsy/ diakses tanggal 29 November 2011 pukul 07 : 22 pm)
Short, John Rendle, O. P. Gray, j. A. Dodge. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak Edisi keenam Jilid Dua. Jakarta : Binarupa Aksara
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Suradi. 2001. Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan kepada Anak edisi I. Jakarta : Sagung Seto




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas kunjungannya..
semoga bermanfaat.. :)