BAB 2
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
2.1 Definisi
2.1.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)
2.1.2 Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk didalam COPD adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah "Chronic obstructive airway disease " dan "ChronicObstructive Lung Diseases (COLD)"
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).
2.2.1 Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :
a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus.
b. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.
Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.
2.2.2 Letak Paru
Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada ba-gian tengah iiu tcrdapal lampuk paiu-paru alau hilus Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):
a. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru.
b. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu bernapas bergerak.
2.2.3 Pembuluh darah pada paru
Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-nated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan oksigen.
Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler.
Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.
Kapasitas paru-paru. Merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang,
b. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksima.l Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter
c. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter)
d. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 - 18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya.
Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan napas dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang berasal dari luar bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan. Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung, dalam hal ini udara keluar dari hidung dan mulut
2.3 Etiologi
2.3.1 Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
1. Perokok aktif
2. Perokok pasif
3. Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
1. Ringan : 0-200
2. Sedang : 200-600
3. Berat : >600
c. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
d. Hipereaktiviti bronkus
e. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
f. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
2.4 Pencegahan
2.4.1 Mencegah terjadinya PPOK
a. Hindari asap rokok
b. Hindari polusi udara
c. Hindari infeksi saluran napas berulang
2.4.2 Mencegah perburukan PPOK
a. Berhenti merokok
b. Gunakan obat-obatan adekuat
c. Mencegah eksaserbasi berulang
2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
a. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
b. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
c. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
2.5.2 Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
e. Pengobatan simtomatik.
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
2.5.3 Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani.
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
2.5.4 Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
a. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
b. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.
c. Terapi jangka panjang di lakukan :
1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
3. Fisioterapi
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
e. Mukolitik dan ekspektoran
f. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
2.6.1 Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
1. Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
2. Bronkodilator adekuat
3. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
4. Antioksidan
5. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
1. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
2. Sputum bertambah dan purulen
3. Demam
4. Kesadaran menurun
2.6.2 Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
2.6.3 Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan
BAB 3
ASMA BRONKIAL
3.1 Definisi
3.1.1 Penfertian Asma
a. Asma didefinisikan sebagai suatu penyakit dari system pernafasan yang meliputi peradangan jalan nafas dan gejala-gejala bronkospasme yang bersifat reversible (Crackett, Antony. 1997).
b. Asma dapat didefinisikan sebagai kondisi yang bercirikan penyempitan saluran pernafasan atau sementara waktu yang biasanya tercermin pada penderita dalam bentuk nafas berbunyi yang terjadi sewaktu-waktu (Sinclair, Chris. 1995).
c. Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat sementara (wikipedia.com).
d. Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (nafas berbunyi ngik-ngik), sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan
3.1.2 Pengertian Asma Bronkial
a. Asma Bronkhial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon dari saluran napas, terhadap bermacam-macam rangsangan yang ditandai dengan penyempitan saluran napas disertai keluarnya lendir yang berlebihan dari kelenjar-kelenjar di dinding saluran napas, sehingga menimbulkan gejala batuk, mengi dan sesak. Penyempitan saluran napas dapat sembuh dan kembali seperti semula secara spontan dengan atau tanpa obat.
b. Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
c. Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American Thoracic Society ).
3.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
3.2.1 Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
3.2.2 Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3.2.3 asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
3.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
3.3.1 Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
3.3.2 Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3.3.3 asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
3.4 Manifestasi Klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari
3.5 Patofisiologis
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
3.6 Pemeriksaan Labolatorium
3.6.1 Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
3.6.2 Pemeriksaan darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
3.7 Pemeriksaan Penunjang
3.7.1 Pemeriksaan radiologi
a. Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
b. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
d. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
e. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
f. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
3.7.2 Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3.7.3 Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
a. Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right bundle branch block).
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
3.7.4 Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
3.7.5 Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
3.8 Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
3.8.1 Status asmatikus
3.8.2 Atelektasis
3.8.3 Hipoksemia
3.8.4 Pneumothoraks
3.8.5 Emfisema
3.8.6 Deformitas thoraks
3.8.7 Gagal nafas
3.9 Penatalaksanaan
3.9.1 Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
a. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
b. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
c. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya. Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
3.9.2 Pengobatan non farmakologik:
a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisiotherapy
e. Beri O2 bila perlu.
3.9.3 Pengobatan farmakologik :
a. Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :
1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat :
a.) Orsiprenalin (Alupent)
b.) Fenoterol (berotec)
c.) Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.
2. Santin (teofilin)
Nama obat :
a.) Aminofilin (Amicam supp)
b.) Aminofilin (Euphilin Retard)
c.) Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
b. Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak- anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
c. Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika secara oral.
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit:
1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?
3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
4. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6. Riwayat merokok?
7. Obat yang dipakai setiap hari?
8. Obat yang dipakai pada serangan akut?
9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
5. Barrel chest?
6. Apakah tampak sianosis?
7. Apakah ada batuk?
8. Apakah ada edema perifer?
9. Apakah vena leher tampak membesar?
10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
11. Bagaimana status sensorium pasien?
12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :
1. Chest X-Ray :
Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
- Pemeriksaan Fungsi Paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.
- TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.
- Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema
- FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
- ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
- Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
- Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
- Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.
- Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
- ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
- Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
- Palpasi:
- Palpasi pengurangan pengembangan dada?
- Adakah fremitus taktil menurun?
- Perkusi:
- Adakah hiperesonansi pada perkusi?
- Diafragma bergerak hanya sedikit?
- Auskultasi:
- Adakah suara wheezing yang nyaring?
- Adakah suara ronkhi?
- Vokal fremitus nomal atau menurun?
4.2 Diagnosa Keperawatan
4.2.1 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
4.2.2 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4.2.3 Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
4.2.4 Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti.
4.3 Rencana Intervensi
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
| |
Tujuan : mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi bersih dan jelas.
| |
KH :
- Produksi sputum menurun
- Batuk ( - )
| |
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
b. Kaji / pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi / ekspirasi.
c. Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.
d. Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh : meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur
e. Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll
f. Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.
Kolaborasi
a. Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.
|
a. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius. Tachipnea biasanya ada pada
b. beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut.
c. Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.[
d. Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
e. Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.
f. Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
a. Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.
|
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
| |
Tujuan : perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edukuat.
| |
KH :
- Sianosis ( - )
- Nafas normal
| |
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
a. Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.
b. Palpasi fremitus
c. Awasi tanda vital dan irama jantung
Kolaborasi
a. Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien
|
a. Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasi kan beratnya. Hipoksemia.
b. Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.
c. Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
a. Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia
|
Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
| |
Tujuan : menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
| |
KH
-
| |
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan makanan.
b. Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
c. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
|
a. Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea.
b. Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapat menyebabkan mual/muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
c. Menurunkan dipsnea dan meningkatkan energi untuk makan, meningkatkan masukan.
|
Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti
| |
Tujuan : menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan
| |
KH :
-
| |
Intervensi
|
Rasional
|
a. Jelaskan tentang penyakit individu
b. Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
c. Tunjukkan tehnik penggunaan inhaler.
|
a. Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan.
b. Penting bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan.
c. Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifanya.
|
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
5.1.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.
5.1.2 Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
5.2 Saran
5.2.1 hidup sehat akan menghindarkan kita dari berbagai penyakit
DAFTAR PUSTAKA
Kapukpkusolo. 2010. Askep PPOK (Penyakit Paru Obstruktif) http://kapukpkusolo.blogspot.com/2010/10/askep-ppok-penyakit-paru-obstruktif.html diakses tanggal 22 Nop 2011 pukul 12 : 00 pm )
Purnawan J., Atiek S.S., Husna A. : 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius
Saputra, Marga Adi Seno. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Asma Bronkial. http://margaadiseno.blogspot.com/2010/asuhan-keperawatan-pada-asma-bronkial diakses tanggal 22 Nop 2011 pukul 12 : 05 pm).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih atas kunjungannya..
semoga bermanfaat.. :)