BAB II
KONSEP TEORITIS PENYAKIT
2.1 Definisi
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis
merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara
cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal).
Miastenia
gravis ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan
lekas lelah.
Miastenia
gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan
kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada
sambungan neuromuskular.
2.2 Etiologi
Miastenia
Gravis menyebabkan kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada sambungan
neuromuskuler. Secara teoritis, kerusakan seperti ini dapat diakibatkan dari
reaksi autoimun atau tidak dapat berfungsinya aktivitas neurotransmiter.
Miastenia Gravis menyerang semua usia, namun penyakit ini paling banyak ditemukan pada usia antara 20 sampai 40 tahun. Miastenia Gravis menyerang wanita 3 kali lebih banyak dari pria, tetapi setelah usia 40 tahun, penyakit ini tampaknya menyerang baik pria maupun wanita secara seimbang.
Miastenia Gravis menyerang semua usia, namun penyakit ini paling banyak ditemukan pada usia antara 20 sampai 40 tahun. Miastenia Gravis menyerang wanita 3 kali lebih banyak dari pria, tetapi setelah usia 40 tahun, penyakit ini tampaknya menyerang baik pria maupun wanita secara seimbang.
Sekitar 20%
bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia Gravis akan memiliki
miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen). Penyakit ini akan muncul
bersamaan dengan gangguan sistem kekebalan dan gangguan tiroid, sekitar 15%
penderita miastenia gravis
mengalami thymoma (tumor yang dibentuk oleh jaringan kelenjar timus). Remisi
terjadi pada 25% penderita penyakit ini.
2.3 PATOGENESIS/PATOFISIOLOGI
Dasar
ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi
impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya
reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian
memperlihatkan adanya penurunan 70% - 90% reseptor asetilkolin pada sambungan
neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai
penyakit autoimun yang bersikap langsung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang
merusak tranmisi neuromuscular.
Mekanisme
imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia
gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan
autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya
autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan
lain-lain.
Sejak tahun
1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita
miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang
memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.
Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada
serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme
pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis
dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus
seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada
pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien
miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama
pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin
akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara,
antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi
anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular
junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post
sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis.
2.4 Manifestasi klinisnya
Miastenia
gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor
asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering
bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi
penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.
Gambaran
klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan
sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat
gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan
ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat
kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90%
penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis
dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah
beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis
ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore
atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun.
Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari
sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari
kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau
bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi
pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator
palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada
miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka
perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis
juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan
otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan
lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien
mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien
tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung
.
Kelemahan
otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang pertama
terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.
Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot
ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk
lagi. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah,
dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi
membersihkan lendir.
Biasanya
gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan
memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau
mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan
hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan
fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta
terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare
dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan
pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila
dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang mempermudah
terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya.
2.5 WOC / Web of caution
2.6 Penatalaksanaan
Walaupun
belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia
gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.
Terapi
imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian
antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat
digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan
terapi yang memiliki omset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama
sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
2.7 Komplikasi
Ø Bisa timbul miastenia crisis
atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak diawasi
Ø Pneumonia
Ø Bullous death
Ø Pneumonia
Ø Bullous death
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis
dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting
sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis
dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul
tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes
diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi
anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini
spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia
gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini
umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi
anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini
ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30%
penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi
ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan
adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes
tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon
adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila
pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau
hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya
miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena,
maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada
perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit),
menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih
lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih
lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat
diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom
miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa
dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses
patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah
meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang
penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik
biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik
biasanya akan hilang kalau patologi
yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan
EMG.
4. Foto dada
Foto dada
dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat
apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken
tomografik.
5. Tes
Wartenberg
Bila
gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.
Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang
kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena
menunjukkan ptosis.
6. Tes
prostigmin
Prostigmin
0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau
subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga
membaik.
BAB III
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Identitas klien
: Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
Keluhanutama : Kelemahan otot
Riwayat kesehatan : Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
Keluhanutama : Kelemahan otot
Riwayat kesehatan : Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
·
B1 (Breathing)
Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut
Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut
·
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
·
B3 (Brain)
Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik
Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik
·
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
·
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
·
B6 (Bone)
Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
3.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di
kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam
batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan
pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a
mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan
otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada
pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia
gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu
penderita
harus terus ditopang dengan
tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan
pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.
Otot-otot
anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot
anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering
mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid
serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.
Kelemahan
otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini
merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat
diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan
retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas,
pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis
fase akut sangat diperlukan.
Biasanya
kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering
kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas
pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda
yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada
muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah
satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi
3.3 Analisa Data
NO
|
DATA
|
ETIOLOGI
|
MASALAH
KEPERAWATAN
|
1
|
· DO:
Klien tampak sesak
|
Kelemahan
otot pernafasan
|
Kerusakan
pertukaran gas
|
2
|
· DO:
Klien
tampak lelah, dan lemas
|
Kelemahan
otot, keletihan umum
|
Deficit
perawatan diri
|
3
|
· DO:
Klien tampak pucat, lemas dan berat badannya
menurun
|
Disfagia,
intubasi, paralisis otot
|
Perubahan
nutrisi
|
3.4 Kemungkinan diagnosa keperawatan
Berdasarkan data pengkajian,
diagnosa keperawatan potensial pasien dapat meliputi hal berikut: :
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
Pembahasannya:
1. Kerusakan pertukaran
gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan :
- Pasien akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
a. Lakukan pendekatan pada klien dengan komunikasi alternative jika klien menggunakan ventilator
b. Catat saturasi O2 dengan oksimetri, terutama dengan aktifitas
c. Ukur parameter pernafasan dengan teratur
d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antikolinergik
e. Sucktion sesuai kebutuhan (obat-obatan antikolinergik meningkatkan sekresi bronkial)
2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
Tujuan ;
-Pasien akan mampu melakukan sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias
a. Buat jadwal perawatan diri dengan interval
b. Berikan waktu istirahat diantara aktivitas
c. Lakukan perawatan diri untuk pasien selama kelemahan otot yang sangat berlebihan atau sertakan keluarga
d. Peragakan tehnik-tehnik penghematan energi
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
Tujuan :
- Pasien akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
a. Lakukan pendekatan pada klien dengan komunikasi alternative jika klien menggunakan ventilator
b. Catat saturasi O2 dengan oksimetri, terutama dengan aktifitas
c. Ukur parameter pernafasan dengan teratur
d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antikolinergik
e. Sucktion sesuai kebutuhan (obat-obatan antikolinergik meningkatkan sekresi bronkial)
2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
Tujuan ;
-Pasien akan mampu melakukan sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias
a. Buat jadwal perawatan diri dengan interval
b. Berikan waktu istirahat diantara aktivitas
c. Lakukan perawatan diri untuk pasien selama kelemahan otot yang sangat berlebihan atau sertakan keluarga
d. Peragakan tehnik-tehnik penghematan energi
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
Tujuan :
-Masukan kalori yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik
a. Kaji reflek gangguan menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral
b. Hentikan pemberian makan peroral jika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan
c. Pasang selang makan kecil dan berikan makan perselang jika terdapat disfagia.
d. Catat intake dan output
e. Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori
f. Timbang pasien setiap hari.
-Masukan kalori yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik
a. Kaji reflek gangguan menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral
b. Hentikan pemberian makan peroral jika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan
c. Pasang selang makan kecil dan berikan makan perselang jika terdapat disfagia.
d. Catat intake dan output
e. Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori
f. Timbang pasien setiap hari.
3.5 NCP / Rencana askep untuk 3 diagnosa
Meliputi diagnosa keperawatan :
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan
umum
3. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi,
atau paralisis otot.
Diagnosa
Keperawatan
|
Tujuan
|
Kriteria
hasil
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Kerusakan
pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
|
Pasien
akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
|
Meningkatkan
pertukaran gas dalam pernafasan
|
Memberikan
bantal agar pasien merasa nyaman.
|
Merelaksasikan
otot otot yang lemah, agar dapat memperbaiki kondisi pernafasan pasien
|
Deficit
perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
|
Pasien akan mampu melakukan
sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias
|
· Menunjukkan rasa nyeri yang hilang dan terkontrol
· Terlihat rileks, dapat tidur ataupun beristirahat dan beraktivitas sesuai
kemampuan
|
· Sedikit keluhan nyeri, catat factor – factor yang dapat mempercepat dan
tanda – tanda rasa sakot nonverbal
· Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk
di kursi maupun di tempat tidur. Tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai
indikasi.
|
· Mengistirahatkan sendi sendi yang nyeri maupun sakit, mempertahankan
posisi netral dan mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi,
menstabilkan sendi, mengurangi gerakan atau rasa sakit pada sendi.
|
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
intubasi, atau paralisis otot.
|
Masukan
kalori yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolic
|
Tercapainya
pemenuhan nutrisi yang adekuat.
|
Pemberian
asupan nutrisi yang sesuai dengan kondisi tubuh pasien
|
Meningkatkan
intake atau pemasukan nutrisi kedalam tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih atas kunjungannya..
semoga bermanfaat.. :)