Rabu, 06 Juni 2012

APENDISITIS


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1              Latar Belakang
Apendiksitis merupakan peradangan pada apendiks periformis.  Apendiks periformis merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan panjang 2 – 6 Inci. Lokasi apendiks pada daerah iliakal, tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik MC Burney. ( Dorothy B. Daughty,1993 )
Apendisitis merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap karena apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien, berada di urutan keempat setelah dispepsia (34.029 pasien rawat inap), gastritis dan duodenitis (33.035 pasien rawat inap), dan penyakit sistem cerna lainn, gastritis dan duodenitis (33.035 pasien rawat inap), dan penyakit sistem cerna lainnya (31.450 pasien rawat inap). Satu dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insidensi tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun.
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, tumor apendiks, dan cacing oskoris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.
Pembedahan dilakukan bila diagnosa apendisitis ditegakkan. Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi.
1.2              Rumusan Masalah
1.      Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien apendisitis ?

1.3              Tujuan
1.3.1         Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang apendisitis serta mendapatkan gambaran teori dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan apendisitis.
1.3.2         Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi apendik
b.   Untuk mengetahui definisi apendisitis
c.    Untuk mengetahui etiologi apendisitis
d.   Untuk mengetahui patofisiologi apendisitis
e.    Untuk mengetahui WOC apendisitis
f.    Untuk mengetahui manifestasi klinis apendisitis
g.   Untuk mengetahui komplikasi apendisitis
h.   Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic apendisitis
i.     Untuk mengetahui penatalaksanaan apendisitis
j.     Untuk mengetahui pencegahan pada apendisitis
k.   Untuk mengetahui asuhan keperawatan apendisitis

1.4              Manfaat
1.      Memberikan informasi pada mahasiswa tentang apendisitis serta berbagai hal lain yang berhubungan dengan penyakit ini.
2.      Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit apendisitis
3.      Sebagai sumber informasi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian atau hal lain yang ada kaitannya dengan penyakit apendisitis



BAB 2
PEMBAHASAN

2.1         Anatomi dan Fisiologi
Apendiks vermiformis atau sering disebut sebagai apendiks saja, pada manusia merupakan struktur tubular yang rudiment dan tanpa fungsi yang jelas. Apendiks berkembang dari posteromedial sekum dengan panjang bervariasi dengan rat-rataantara 6-10 cm dan diameter sekitar 0,5-0,8 cm. posisi apendiks dalam rongga abdomen juga bervariasi, tersering berada posterior dari sekum atau kolon asendens. Hamper seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter dari apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum berjalan kontinyu disepanjang apendiks dan berakhir di ujung apendiks.
Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung dari apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular, derivate cabang inferior dari arteri iliocolo yang merupakan cabang trunkus mesenteric superior. Selain arteri apendikular yang memperdarahi hamper seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena mesenterik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal. Drainase limfatik berjalan ke nodus limfe regional seperti nodus limfatik ileocoli. Persarafan apendiks merupakan cabang dari nervus vagus dan pleksus mesenterik superior (simpatis).
Secara umum permukaan eksternal apendiks tampak halus dan berwarna merah kecoklatan hingga kelabu. Permukaan dalam atqu mukosa secara umum sama seperti mukosa kolon, berwarna kuning muda dengan gambaran nodular, komponen limfoid yang prominen. Komponen folikel limfoid ini mengakibatkan lumen dari apendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang dengan diameter 1 – 3 cm.
Komposisi histologi dari apendiks serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa.
1.        Lapisan mukosa apendiks terdiri dari selapis epitel di permukaan yang terdapat sel-sel absorbtif, sel-sel goblet, sel-sel neuro endokrin dan beberapa sel paneth
2.        Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna. Lapisan ini tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin, serta fibroblas.
3.        Lapisan muskularis eksterna merupakan lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa. Lapisan ini terpisah menjadi 2 bagian, yakni lapisan sirkular di dalam dan lapisan longitudinal di sebelah luar.
4.        Lapisan serosa merupakan lapisan terluar dari apendiks yang terdiri dari selapis sel-sel mesotelial koboidal





2.2         Definisi
Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan, apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. (Kowalak, 2011)
Apendiksitis merupakan peradangan pada apendiks periformis.  Apendiks periformis merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan panjang 2 – 6 Inci. Lokasi apendiks pada daerah iliakal, tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik MC Burney. ( Dorothy B. Daughty,1993 )





Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, tumor apendiks, dan cacing oskoris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1.        Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa, 35% karena statis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.
2.        Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pethogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi membusuk dan memperberat infeksi.
3.        Kecenderungan familian
Hal ini dihubungkan dengan terdapat malforasi herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis.
4.        Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan rendah serat mempunyai risiko lebih tinggi dari negara-negara yang pola makannya banyak serat.
5.        Faktor infeksi saluran pernafasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernafasan akut terutama epedemi influenza dan pneumonitis. Oleh karena itu penyakit infeksi saluran pernafasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan terjadinya apendisitis
Penyebab apendisitis meliputi (Kowalak, 2011) :
1.      Ulserasi mukosa
2.      Massa feses (obstruksi pada colon oleh fecalit)
3.      Striktur karena fibrosis pada dinding usus
4.      Barium mealinfeksi
5.      Tumor
6.      Berbagai macam penyakit cacing
2.4         Patofisiologi
Peradangan pada apendik dapat terjadi oleh adanya ulserasi dinding mukosa atau obstruksi lumen (biasanya oleh fecolif/faeses yang keras). Penyumbatan pengeluaran sekret mukus mengakibatkan perlengketan, infeksi dan terhambatnya aliran darah. Dari keadaan hipoksia menyebabkan gangren atau dapat terjadi ruptur dalam waktu 24-36 jam. Bila proses ini berlangsung terus-menerus organ disekitar dinding apendik terjadi perlengketan dan akan menjadi abses (kronik). Apabila proses infeksi sangat cepat (akut) dapat menyebabkan peritonitis. Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius. Infeksi kronis dapat terjadi pada apendik, tetapi hal ini tidak selalu menimbulkan nyeri di daerah epigastrium.
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanana akan terus meningkat. Hal tersebut akan mengakibatkan obstruksinvena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding. Sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut. Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti gangren. Stadium ini disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut apendisitis perforasi.
Bila proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga muncul infiltrat apendikularis. Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan untuk terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.






2.5         Text Box: Parasit & cacingText Box: Benda asingText Box: Statis fekalText Box: Hiperplasia jaringan limfoid submukosaWOC

 

 


2.6         Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala apendisitis dapat meliputi :
1.      Nyeri abdomen yang disebabakan oleh inflamasi apendisitis dan distensi serta obstruksi usus, rasa nyeri ini dimulai pada regio epigastrum dan kemudian beralih ke kuadran kanan bawah. Pada anak-anak nyeri bersifat mengeluh di semua bagian perut, sedangkan pada orang tua nyeri tidak terlalu berat dan nyeri tumpul tidak terlalu dirasakan.
2.      Anoreksi sesudah awitan nyeri
3.      Mual atau muntah yang disebabkan oleh inflamasi
4.      Demam dengan derajat rendah (subfebris) akibat manifestasi sistemik inflamasi dan leukositosis (biasanya 37,8-38,8°C)
5.      Nyeri tekan karena inflamasi

2.7         Komplikasi
Komplikasi apendisitis dapat meliputi :
1.      Infeksi luka operasi
2.      Perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses apendiks
3.      Abses intraabdomen (abses subfrenitus) merupakan pengumpulan cairan antara diafragma dan hati atau limfa
4.      Fistula fekal
5.      Obstruksi intestinal adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik
6.      Tromboflebitis supuratif adalah perluasan mikroorganisme patogen yang mengikuti aliran darah disepanjang vena dan cabang-cabang yang bersifat akut.
7.      Peritonitis
8.      Kematian




2.8         Pemeriksaan Diagnostik
1.      Jumlah leukosit mengalami kenaikan yang cukup tinggi disertai peningkatan jumlah sel yang imatur
2.      Foto rontgen dengan media kontras memperlihatkan apendiks yang tidak terisi kontras




2.9         Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan bila diagnosa apendisitis ditegakkan. Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi.
Apendektomi dapat dilakukan di bawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.





2.10     Pencegahan
Pencegahan pada apendisitis yaitu dengan menurunkan resiko obstruksi atau peradangan pada lumen apendik. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat terjadi karena tidak adekuatnya diit serat, diit tinggi serat.
Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda apendiksitis meminimalkan resiko terjadinya gangren, perforasi, dan peritonitis.

2.11     Prinsip Etika Keperawatan
Etika berkenaan dengan pengkajian kehidupan moral secara sistematis dan dirancang untuk melihat apa yang harus dikerjakan, apa yang harus dipertimbangkan sebelum tindakan tersebut dilakukan, dan ini menjadi acuan untuk melihat suatu tindakan benar atau salah secara moral. Terdapat beberapa prinsip etik dalam pelayanan kesehatan dan keperawatan yaitu :
a.    Otonomi (penentu pilihan)
Perawat yang mengikuti prinsip autonomi menghargai hak klien untuk mengambil keputusan sendiri. Dengan menghargai hak autonomi berarti perawat menyadari keunikan induvidu secara holistik.

b.    Beneficience (do good)
Beneficence berarti melakukan yang baik. Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan dengan baik, yaitu mengimplemtasikan tindakan yang mengutungkan klien dan keluarga.

c.    Justice (perlakuan adil)
Perawat hendaknya mengambil keputusan dengan menggunakan rasa keadilan.

d.   Non maleficience (do no harm)
Non Maleficence berarti tugas yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi kliennya. Prinsip ini adalah prinsip dasar sebagaian besar kode etik keperawatan. Bahaya dapat berarti dengan sengaja membahayakan, resiko membahayakan, dan bahaya yang tidak disengaja.

e.    Fidelity (setia)
Fidelity berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimikili oleh seseorang.

f.     Veracity (kebenaran)
Veracity mengacu pada mengatakan kebenaran. Sebagian besar anak-anak diajarkan untuk selalu berkata jujur, tetapi bagi orang dewasa, pilihannya sering kali kurang jelas.

g.    Moral right
Hak-hak klien harus dihargai dan dilindungi. Hak-hak tersebut menyangkut kehidupan, kebahagiaan, kebebasan, privacy, self-determination, perlakuan adil dan integritas diri.




BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1         Pengkajian
3.1.1        Identitas
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, agama, tinggi badan, berat badan, tanggal MRS.
3.1.2        Riwayat Kesehatan
a.       Keluhan utama
Pada pasien apendisitis akut biasanya mengeluh nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan bawah, mual, muantah, dan demam dengan suhu 37,8-38,8°C
b.      Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya
c.       Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga ada yang pernah mengalami apendisitis.
3.1.3        Pola Fungsi Kesehatan
a.       Pola persepsi dan tatanan hidup sehat
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil
b.      Pola nutrisi dan metabolisme
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan pemasukan makanan sampai peristaltik usus kembali normal
c.       Pola istirahat dan latihan
Aktivitas klien biasanya terjadi pembatasan aktivitas akibat rasa nyeri pada luka operasi sehingga keperluan klien harus dibantu.
d.      Pola tidur dan istirahat
Klien akan mengalami gangguan kenyamanan dan pola tidur karena nyeri akibat tindakan pembedahan
e.       Pola eliminasi
Pada pola eliminasi urin akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak bisa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi proses eliminasi urine
f.       Pola reproduksi seksual
Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama beberapa waktu
g.      Pola terhadap keluarga
Perawatan dan pengobatan memerlukan biaya yang banyak harus ditanggung oleh keluarga terhadap klien

3.1.4        Pemeriksaan Fisik
a.    B1 (Breathing)
Adanya perubahan denyut nadi dan pernafasan.
Respirasi : takipnoe, pernafasan dangkal, retraksi otot bantu nafas
b.    B2 (Blood)
Sirkulasi pada klien mungkin adanya takikardia, tekanan darah tidak normal, CRT < 2 detik
c.    B3 (Brain)
Adanya perasaan gelisah
d.   B4 (Bladder)
Tidak dapat BAK karena nyeri
e.    B5 (Bowel)
Distensi abdomen, nyeri tekan, kekauan penurunan atau tidak adanya bising usus, nyeri/kenyamanan sekitar epigastrium dan umbilical yang meningkat dan terlokasi di titik Mc. Burney
f.     B6 (Bone)
Pasien terlihat lemas, intoleransi aktivitas


3.2         Diagnosa Keperawatan
3.2.1        Pre Op
a.       Nyeri b/d rangsangan saraf reseptor nyeri
b.      Hipertermi b/d pelepasan mediator
c.       Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia
d.      Gangguan pola eliminasi alvi b/d peningkatan bakteri flora usus
e.       Intoleransi aktivitas b/d nyeri
f.       Gangguan kebutuhan personal hiegien b/d kelemahan
g.      Ansietas b/d proses pembedahan
3.2.2        Post Op
a.       Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan kebutuhan oksigen
b.      Nyeri b/d diskontinyuitas jaringan kulit
c.       Risiko infeksi b/d luka insisi bedah

3.3         Rencana Intervensi
3.3.1        Nyeri b/d rangsangan saraf reseptor nyeri
a.       Tujuan          : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan rasa nyeri berkurang
b.      KH               :
-          Skala nyeri 0-1
-          Wajah tidak meringis
-          Pasien dapat beristirahat
-          TTV normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-100 x/menit, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5 – 37,5°C)
-          Klien dapat mentoleransi nyeri
c.       Intervensi
1.      BHSP
R/ meningkatkan kepercayaan klien
2.      Kaji skala nyeri
R/ mengetahui skala nyeri yang dirasakan klien
3.      Beri lingkungan yang nyaman dan tenang
R/ membantu klien untuk dapat beristirahat
4.      Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
R/ mengurangi rasa nyeri
5.      Observasi TTV
R/ mengetahui keadaan umum klien
6.      Kolaborasi pemberian obat sesuai kebutuhan : analgesik
R/ mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan kenyamanan

3.3.2        Hipertermi b/d pelepasan mediator
a.       Tujuan          : dalam waktu 1 x 24jam setelah dilakukan tindakan keperawatan, suhu tubuh pasien normal (36,5-37,5°C)
b.      KH               :
-          Pasien tidak berkeringat lagi
-          Kulit tidak merah
-          Pasien tidak mengeluh panas
-          Pasien tidak dehidrasi
-          Suhu tubuh normal (36,5-37,5°C)
c.       Intervensi
1.      Beri kompres hangat pada pasien
R/ mengurangi panas dengan cara konveksi
2.      Anjurkan klien untuk banyak minum
R/ menghindari dehidrasi klien
3.      Buka pakaian pasien
R/ mengurangi panas dengan cara evaporasi
4.      Observasi suhu tubuh pasien
R/ mengevaluasi/mengetahui suhu tubuh klien
5.      Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : antrain
R/ mengurangi panas yang dirasakan klien


3.3.3        Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia
a.       Tujuan          : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
b.      KH
-          Antropometri : berat badan klien ideal
-          Biochemical : albumin normal : 3,5-5 g/dl
Hb wanita          : 12,0-16,0 g/dl
Hb pria               : 13,5-18,0 g/dl
-          Clinical : pasien tidak lemah, bising usus normal (5-35 x/menit)
-          Diet : porsi makan habis
c.       Intervensi
1.      Timbang berat badan klien setiap hari
R/ memberikan informasi berat badan klien
2.      Kaji bising usus klien
R/ mengetahui apakah klien mengalami konstipasi atau diare
3.      Check kadar albumin dan Hb dalam darah
R/ untuk mengetahui kadar albumin dan Hb dalam darah
4.      Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian asupan makanan
R/ membantu dalam pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan klien

3.3.4        Gangguan pola eliminasi alvi b/d peningkatan bakteri flora usus
a.       Tujuan          : dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat melakukan BAB
b.      KH
-          Bising usus normal (5-35 x/menit)
-          Konsistensi feses lembek
c.       Intervensi
1.      Kaji fungsi usus dan karakteristik tinja
R/ Memperoleh informasi tentang kondisi usus
2.      Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi peristaltik usus
R/ Distensi dan hilangnya peristaltic usus menunjukkan fungsi defekasi hilang
3.      Berikan enema jika diperlukan
R/ Mungkin perlu untuk menghilangkan distensi

3.3.5        Intoleransi aktivitas b/d nyeri
a.       Tujuan          : dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan klien dapat melakukan aktivitas
b.      KH
-          Menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
-          TTV dalam rentang normal(TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-100 x/menit, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5 – 37,5°C)
c.       Intervensi
1.      Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, catat laporan  dispnea,peningkatan kelemahan
R/ Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien
2.      Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi
R/ Menurunkan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat
3.      Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat/ tidur
R/ Tirah baring dipertahankan untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan

3.3.6        Ansietas b/d proses pembedahan
a.       Tujuan          :dalam waktu 1 x 8 jam setelah dilakukan tindakan keperawatan klienmenunjukkan rileks dan laporan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani
b.      KH
-          Pasien tidak cemas lagi
-          TTV normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-100 x/menit, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5 – 37,5°C)
-          Klien dapat beristirahat
c.       Intervensi
1.      Berikan informasi tentang prosedur pembedahan
R/ mengurangi kecemasan klien
2.      Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang
R/ membantu klien dalam beristirahat
3.      Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
R/ membantu klien dalam mengurangi kecemasan
4.      Observasi TTV
R/ mengetahui keadaan umum klien





BAB 4
PENUTUP

4.1         Kesimpulan
Apendiksitis merupakan peradangan pada apendiks periformis.  Apendiks periformis merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan panjang 2 – 6 Inci. Lokasi apendiks pada daerah iliakal, tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik MC Burney. ( Dorothy B. Daughty,1993 )
Secara klinis penyakit ini di bedakan secara akut dan kronik. Apendiksitis akut apabila nyeri tidak hebat dan menjadi apendiksitis kronik. Sedangkan apendiksitis kronik nyeri hebat atau tidak teratasi dan penanganannya harus dengan pembedahan atau apendiktomy. Apendiktomy adalah pemotongan saluran apendiks yang terinfeksi.




DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo, Tjockronegoro dan Hendra Utama. 1992. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ke-3. Jakarta : FKUI
Doengos,E marlyn.2002. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta
Hidayat, Sjamsu. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Rivisi. Jakarta : EGC
Kowalak, P. Jennifer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Salemba Medika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas kunjungannya..
semoga bermanfaat.. :)