BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Apendiksitis merupakan peradangan pada
apendiks periformis. Apendiks periformis
merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan
panjang 2 – 6 Inci. Lokasi apendiks pada daerah iliakal, tepatnya pada dinding
abdomen di bawah titik MC Burney. ( Dorothy B. Daughty,1993 )
Apendisitis merupakan penyakit urutan
keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap karena
apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien, berada di urutan keempat
setelah dispepsia (34.029 pasien rawat inap), gastritis dan duodenitis (33.035
pasien rawat inap), dan penyakit sistem cerna lainn, gastritis dan duodenitis
(33.035 pasien rawat inap), dan penyakit sistem cerna lainnya (31.450 pasien
rawat inap). Satu dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya.
Insidensi tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang
berusia 15-19 tahun.
Apendisitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan
limfe, tumor apendiks, dan cacing oskoris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.
Pembedahan dilakukan
bila diagnosa apendisitis ditegakkan. Antibiotik dan cairan intravena diberikan
sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien apendisitis ?
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami tentang apendisitis serta mendapatkan gambaran teori dan Asuhan
Keperawatan pada klien dengan apendisitis.
1.3.2
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui
anatomi dan fisiologi apendik
b.
Untuk mengetahui
definisi apendisitis
c.
Untuk mengetahui
etiologi apendisitis
d.
Untuk mengetahui
patofisiologi apendisitis
e.
Untuk mengetahui
WOC apendisitis
f.
Untuk mengetahui
manifestasi klinis apendisitis
g.
Untuk mengetahui
komplikasi apendisitis
h.
Untuk mengetahui
pemeriksaan diagnostic apendisitis
i.
Untuk mengetahui
penatalaksanaan apendisitis
j.
Untuk mengetahui
pencegahan pada apendisitis
k.
Untuk mengetahui
asuhan keperawatan apendisitis
1.4
Manfaat
1.
Memberikan informasi pada mahasiswa
tentang apendisitis serta
berbagai hal lain yang berhubungan dengan penyakit ini.
2.
Menambah pengetahuan penulis tentang
penyakit apendisitis
3.
Sebagai sumber informasi bagi pihak lain
yang ingin melakukan penelitian atau hal lain yang ada kaitannya dengan
penyakit apendisitis
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Anatomi dan
Fisiologi
Apendiks vermiformis atau
sering disebut sebagai apendiks saja, pada manusia merupakan struktur tubular
yang rudiment dan tanpa fungsi yang jelas. Apendiks berkembang dari
posteromedial sekum dengan panjang bervariasi dengan rat-rataantara 6-10 cm dan
diameter sekitar 0,5-0,8 cm. posisi apendiks dalam rongga abdomen juga
bervariasi, tersering berada posterior dari sekum atau kolon asendens. Hamper
seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks
(mesenter dari apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum berjalan kontinyu
disepanjang apendiks dan berakhir di ujung apendiks.
Vaskularisasi dari apendiks
berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung dari apendiks dimana tidak
terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular, derivate cabang inferior dari arteri
iliocolo yang merupakan cabang trunkus mesenteric superior. Selain arteri
apendikular yang memperdarahi hamper seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi
dari arteri asesorius. Untuk aliran
balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena mesenterik
superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal. Drainase limfatik berjalan ke
nodus limfe regional seperti nodus limfatik ileocoli. Persarafan apendiks merupakan
cabang dari nervus vagus dan pleksus mesenterik superior (simpatis).
Secara umum permukaan eksternal apendiks tampak
halus dan berwarna merah kecoklatan hingga kelabu. Permukaan dalam atqu mukosa
secara umum sama seperti mukosa kolon, berwarna kuning muda dengan gambaran
nodular, komponen limfoid yang prominen. Komponen folikel limfoid ini
mengakibatkan lumen dari apendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada
potongan melintang dengan diameter 1 – 3 cm.
Komposisi histologi dari apendiks serupa dengan usus
besar, terdiri dari empat lapisan yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna,
dan lapisan serosa.
1.
Lapisan mukosa
apendiks terdiri dari selapis epitel di permukaan yang terdapat sel-sel
absorbtif, sel-sel goblet, sel-sel neuro endokrin dan beberapa sel paneth
2.
Lapisan
submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna. Lapisan ini tersusun
longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin, serta fibroblas.
3.
Lapisan
muskularis eksterna merupakan lapisan otot polos yang tebal berada diantara
submukosa dan serosa. Lapisan ini terpisah menjadi 2 bagian, yakni lapisan
sirkular di dalam dan lapisan longitudinal di sebelah luar.
4.
Lapisan serosa
merupakan lapisan terluar dari apendiks yang terdiri dari selapis sel-sel
mesotelial koboidal
2.2
Definisi
Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan
tindakan bedah kedaruratan, apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan
obstruksi pada apendiks vermiformis. (Kowalak, 2011)
Apendiksitis
merupakan peradangan pada apendiks periformis.
Apendiks periformis merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih
sebesar pensil dengan panjang 2 – 6 Inci. Lokasi apendiks pada daerah iliakal,
tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik MC Burney. ( Dorothy B.
Daughty,1993 )
Apendisitis akut
dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan
limfe, tumor apendiks, dan cacing oskoris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor
yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1.
Faktor sumbatan
Faktor
obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan
limfoid submukosa, 35% karena statis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Fekalith ditemukan 40%
pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut dengan
rupture.
2.
Faktor bakteri
Infeksi
enterogen merupakan faktor pethogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi membusuk dan memperberat
infeksi.
3.
Kecenderungan
familian
Hal
ini dihubungkan dengan terdapat malforasi herediter dari organ, apendiks yang
terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi
apendisitis.
4.
Faktor ras dan
diet
Faktor
ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan rendah serat mempunyai risiko
lebih tinggi dari negara-negara yang pola makannya banyak serat.
5.
Faktor infeksi
saluran pernafasan
Setelah
mendapat penyakit saluran pernafasan akut terutama epedemi influenza dan
pneumonitis. Oleh karena itu penyakit infeksi saluran pernafasan dapat
menimbulkan seperti gejala permulaan terjadinya apendisitis
Penyebab apendisitis meliputi (Kowalak, 2011) :
1. Ulserasi mukosa
2. Massa
feses (obstruksi pada colon oleh fecalit)
3. Striktur
karena fibrosis pada dinding usus
4. Barium
mealinfeksi
5. Tumor
6. Berbagai
macam penyakit cacing
2.4
Patofisiologi
Peradangan
pada apendik dapat terjadi oleh adanya ulserasi dinding mukosa atau obstruksi
lumen (biasanya oleh fecolif/faeses yang keras). Penyumbatan pengeluaran sekret
mukus mengakibatkan perlengketan, infeksi dan terhambatnya aliran darah. Dari
keadaan hipoksia menyebabkan gangren atau dapat terjadi ruptur dalam waktu
24-36 jam. Bila proses ini berlangsung terus-menerus organ disekitar dinding
apendik terjadi perlengketan dan akan menjadi abses (kronik). Apabila proses
infeksi sangat cepat (akut) dapat menyebabkan peritonitis. Peritonitis
merupakan komplikasi yang sangat serius. Infeksi kronis dapat terjadi pada
apendik, tetapi hal ini tidak selalu menimbulkan nyeri di daerah epigastrium.
Bila
sekresi mukus berlanjut, tekanana akan terus meningkat. Hal tersebut akan
mengakibatkan obstruksinvena, edema bertambah dan bakteri akan menembus
dinding. Sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium yang
dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis
supuratif akut. Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti gangren. Stadium ini disebut apendisitis
gangrenosa. Bila dinding apendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut
apendisitis perforasi.
Bila
proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks hingga muncul infiltrat apendikularis. Pada anak-anak karena omentum
lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan untuk terjadinya
perforasi, sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh
darah.
2.5
WOC
2.6
Manifestasi
Klinis
Tanda dan gejala apendisitis dapat meliputi :
1.
Nyeri abdomen
yang disebabakan oleh inflamasi apendisitis dan distensi serta obstruksi usus,
rasa nyeri ini dimulai pada regio epigastrum dan kemudian beralih ke kuadran
kanan bawah. Pada anak-anak nyeri bersifat mengeluh di semua bagian perut,
sedangkan pada orang tua nyeri tidak terlalu berat dan nyeri tumpul tidak
terlalu dirasakan.
2.
Anoreksi sesudah
awitan nyeri
3.
Mual atau muntah
yang disebabkan oleh inflamasi
4.
Demam dengan
derajat rendah (subfebris) akibat manifestasi sistemik inflamasi dan
leukositosis (biasanya 37,8-38,8°C)
5.
Nyeri tekan
karena inflamasi
2.7
Komplikasi
Komplikasi apendisitis dapat meliputi :
1.
Infeksi luka
operasi
2.
Perforasi apendiks
yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses apendiks
3.
Abses
intraabdomen (abses subfrenitus) merupakan pengumpulan cairan antara diafragma
dan hati atau limfa
4.
Fistula fekal
5.
Obstruksi
intestinal adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh
sumbatan mekanik
6.
Tromboflebitis
supuratif adalah perluasan mikroorganisme patogen yang mengikuti aliran darah
disepanjang vena dan cabang-cabang yang bersifat akut.
7.
Peritonitis
8.
Kematian
2.8
Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Jumlah leukosit
mengalami kenaikan yang cukup tinggi disertai peningkatan jumlah sel yang
imatur
2.
Foto rontgen
dengan media kontras memperlihatkan apendiks yang tidak terisi kontras
2.9
Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan bila diagnosa apendisitis
ditegakkan. Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai pembedahan
dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi
(pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan risiko perforasi.
Apendektomi dapat dilakukan di bawah anastesi umum
atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi yang merupakan
metode terbaru yang sangat efektif.
2.10
Pencegahan
Pencegahan
pada apendisitis yaitu dengan menurunkan resiko obstruksi atau peradangan pada
lumen apendik. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit
dapat terjadi karena tidak adekuatnya diit serat, diit tinggi serat.
Perawatan
dan pengobatan penyakit cacing juga meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat
terhadap gejala dan tanda apendiksitis meminimalkan resiko terjadinya gangren,
perforasi, dan peritonitis.
2.11
Prinsip Etika
Keperawatan
Etika
berkenaan dengan pengkajian kehidupan moral secara sistematis dan dirancang
untuk melihat apa yang harus dikerjakan, apa yang harus dipertimbangkan sebelum
tindakan tersebut dilakukan, dan ini menjadi acuan untuk melihat suatu tindakan
benar atau salah secara moral. Terdapat beberapa prinsip etik dalam pelayanan
kesehatan dan keperawatan yaitu :
a.
Otonomi (penentu pilihan)
Perawat
yang mengikuti prinsip autonomi menghargai hak klien untuk mengambil keputusan
sendiri. Dengan menghargai hak autonomi berarti perawat menyadari keunikan
induvidu secara holistik.
b.
Beneficience (do good)
Beneficence
berarti melakukan yang baik. Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan dengan
baik, yaitu mengimplemtasikan tindakan yang mengutungkan klien dan keluarga.
c.
Justice (perlakuan adil)
Perawat
hendaknya mengambil keputusan dengan menggunakan rasa keadilan.
d.
Non maleficience (do no harm)
Non
Maleficence berarti tugas yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi
kliennya. Prinsip ini adalah prinsip dasar sebagaian besar kode etik
keperawatan. Bahaya dapat berarti dengan sengaja membahayakan, resiko
membahayakan, dan bahaya yang tidak disengaja.
e.
Fidelity (setia)
Fidelity
berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimikili oleh
seseorang.
f.
Veracity (kebenaran)
Veracity
mengacu pada mengatakan kebenaran. Sebagian besar anak-anak diajarkan untuk
selalu berkata jujur, tetapi bagi orang dewasa, pilihannya sering kali kurang
jelas.
g.
Moral right
Hak-hak
klien harus dihargai dan dilindungi. Hak-hak tersebut menyangkut kehidupan,
kebahagiaan, kebebasan, privacy, self-determination, perlakuan adil dan
integritas diri.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
3.1.1
Identitas
Identitas
meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, agama, tinggi badan,
berat badan, tanggal MRS.
3.1.2
Riwayat
Kesehatan
a.
Keluhan utama
Pada
pasien apendisitis akut biasanya mengeluh nyeri hebat pada abdomen kuadran
kanan bawah, mual, muantah, dan demam dengan suhu 37,8-38,8°C
b.
Riwayat penyakit
dahulu
Penyakit yang pernah
diderita sebelumnya
c.
Riwayat penyakit
keluarga
Apakah keluarga ada
yang pernah mengalami apendisitis.
3.1.3
Pola Fungsi
Kesehatan
a.
Pola persepsi
dan tatanan hidup sehat
Penderita
menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus
dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita
mengalami emosi yang tidak stabil
b.
Pola nutrisi dan
metabolisme
Klien
biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan pemasukan
makanan sampai peristaltik usus kembali normal
c.
Pola istirahat
dan latihan
Aktivitas klien
biasanya terjadi pembatasan aktivitas akibat rasa nyeri pada luka operasi
sehingga keperluan klien harus dibantu.
d.
Pola tidur dan
istirahat
Klien
akan mengalami gangguan kenyamanan dan pola tidur karena nyeri akibat tindakan
pembedahan
e.
Pola eliminasi
Pada
pola eliminasi urin akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa nyeri
atau karena tidak bisa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi proses eliminasi
urine
f.
Pola reproduksi
seksual
Adanya
larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama beberapa waktu
g.
Pola terhadap
keluarga
Perawatan
dan pengobatan memerlukan biaya yang banyak harus ditanggung oleh keluarga
terhadap klien
3.1.4
Pemeriksaan
Fisik
a. B1
(Breathing)
Adanya perubahan denyut
nadi dan pernafasan.
Respirasi : takipnoe,
pernafasan dangkal, retraksi otot bantu nafas
b. B2
(Blood)
Sirkulasi pada klien
mungkin adanya takikardia, tekanan darah tidak normal, CRT < 2 detik
c. B3
(Brain)
Adanya perasaan gelisah
d. B4
(Bladder)
Tidak dapat BAK karena
nyeri
e. B5
(Bowel)
Distensi abdomen, nyeri
tekan, kekauan penurunan atau tidak adanya bising usus, nyeri/kenyamanan
sekitar epigastrium dan umbilical yang meningkat dan terlokasi di titik Mc.
Burney
f. B6
(Bone)
Pasien terlihat lemas, intoleransi
aktivitas
3.2
Diagnosa
Keperawatan
3.2.1
Pre Op
a.
Nyeri b/d
rangsangan saraf reseptor nyeri
b.
Hipertermi b/d
pelepasan mediator
c.
Gangguan
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia
d.
Gangguan pola
eliminasi alvi b/d peningkatan bakteri flora usus
e.
Intoleransi
aktivitas b/d nyeri
f.
Gangguan
kebutuhan personal hiegien b/d kelemahan
g.
Ansietas b/d
proses pembedahan
3.2.2
Post Op
a.
Bersihan jalan
nafas tidak efektif b/d peningkatan kebutuhan oksigen
b.
Nyeri b/d
diskontinyuitas jaringan kulit
c.
Risiko infeksi
b/d luka insisi bedah
3.3
Rencana
Intervensi
3.3.1
Nyeri b/d
rangsangan saraf reseptor nyeri
a.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan
tindakan rasa nyeri berkurang
b.
KH :
-
Skala nyeri 0-1
-
Wajah tidak
meringis
-
Pasien dapat
beristirahat
-
TTV normal (TD :
120-140/60-80 mmHg, N : 60-100 x/menit, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5 – 37,5°C)
-
Klien dapat
mentoleransi nyeri
c.
Intervensi
1.
BHSP
R/ meningkatkan
kepercayaan klien
2.
Kaji skala nyeri
R/ mengetahui skala
nyeri yang dirasakan klien
3.
Beri lingkungan
yang nyaman dan tenang
R/ membantu klien untuk
dapat beristirahat
4.
Ajarkan teknik
distraksi dan relaksasi
R/ mengurangi rasa
nyeri
5.
Observasi TTV
R/ mengetahui keadaan
umum klien
6.
Kolaborasi
pemberian obat sesuai kebutuhan : analgesik
R/ mengurangi rasa
nyeri dan meningkatkan kenyamanan
3.3.2
Hipertermi b/d
pelepasan mediator
a.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24jam setelah
dilakukan tindakan keperawatan, suhu tubuh pasien normal (36,5-37,5°C)
b.
KH :
-
Pasien tidak
berkeringat lagi
-
Kulit tidak
merah
-
Pasien tidak
mengeluh panas
-
Pasien tidak
dehidrasi
-
Suhu tubuh
normal (36,5-37,5°C)
c.
Intervensi
1.
Beri kompres
hangat pada pasien
R/ mengurangi panas
dengan cara konveksi
2.
Anjurkan klien
untuk banyak minum
R/ menghindari
dehidrasi klien
3.
Buka pakaian
pasien
R/ mengurangi panas
dengan cara evaporasi
4.
Observasi suhu
tubuh pasien
R/
mengevaluasi/mengetahui suhu tubuh klien
5.
Kolaborasi
pemberian obat sesuai indikasi : antrain
R/ mengurangi panas
yang dirasakan klien
3.3.3
Gangguan
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia
a.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah
diberikan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
b.
KH
-
Antropometri :
berat badan klien ideal
-
Biochemical :
albumin normal : 3,5-5 g/dl
Hb wanita : 12,0-16,0 g/dl
Hb pria : 13,5-18,0 g/dl
-
Clinical :
pasien tidak lemah, bising usus normal (5-35 x/menit)
-
Diet : porsi
makan habis
c.
Intervensi
1.
Timbang berat
badan klien setiap hari
R/ memberikan informasi
berat badan klien
2.
Kaji bising usus
klien
R/ mengetahui apakah
klien mengalami konstipasi atau diare
3.
Check kadar
albumin dan Hb dalam darah
R/ untuk mengetahui
kadar albumin dan Hb dalam darah
4.
Kolaborasi
dengan ahli gizi dalam pemberian asupan makanan
R/
membantu dalam pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan klien
3.3.4
Gangguan pola
eliminasi alvi b/d peningkatan bakteri flora usus
a.
Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam setelah
diberikan tindakan keperawatan pasien dapat melakukan BAB
b.
KH
-
Bising usus
normal (5-35 x/menit)
-
Konsistensi
feses lembek
c.
Intervensi
1.
Kaji fungsi usus dan karakteristik tinja
R/ Memperoleh informasi
tentang kondisi usus
2.
Catat adanya distensi abdomen dan
auskultasi peristaltik usus
R/ Distensi dan
hilangnya peristaltic usus menunjukkan fungsi defekasi hilang
3.
Berikan enema jika diperlukan
R/ Mungkin perlu untuk
menghilangkan distensi
3.3.5
Intoleransi
aktivitas b/d nyeri
a.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam setelah
diberikan tindakan keperawatan klien dapat melakukan aktivitas
b.
KH
-
Menunjukan peningkatan toleransi terhadap
aktivitas
-
TTV dalam rentang normal(TD : 120-140/60-80
mmHg, N : 60-100 x/menit, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5 – 37,5°C)
c.
Intervensi
1.
Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas,
catat laporan dispnea,peningkatan
kelemahan
R/ Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien
2.
Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung
selama fase akut sesuai indikasi
R/ Menurunkan stress dan
rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat
3.
Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk
istirahat/ tidur
R/ Tirah baring dipertahankan
untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan
3.3.6
Ansietas b/d
proses pembedahan
a.
Tujuan :dalam waktu 1 x 8 jam
setelah dilakukan tindakan keperawatan klienmenunjukkan
rileks dan laporan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani
b.
KH
-
Pasien tidak
cemas lagi
-
TTV normal (TD :
120-140/60-80 mmHg, N : 60-100 x/menit, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5 – 37,5°C)
-
Klien dapat
beristirahat
c.
Intervensi
1.
Berikan
informasi tentang prosedur pembedahan
R/ mengurangi kecemasan
klien
2.
Berikan
lingkungan yang nyaman dan tenang
R/ membantu klien dalam
beristirahat
3.
Ajarkan teknik
distraksi dan relaksasi
R/ membantu klien dalam
mengurangi kecemasan
4.
Observasi TTV
R/ mengetahui keadaan
umum klien
BAB 4
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Apendiksitis
merupakan peradangan pada apendiks periformis.
Apendiks periformis merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih
sebesar pensil dengan panjang 2 – 6 Inci. Lokasi apendiks pada daerah iliakal,
tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik MC Burney. ( Dorothy B. Daughty,1993
)
Secara klinis
penyakit ini di bedakan secara akut dan kronik. Apendiksitis akut apabila nyeri
tidak hebat dan menjadi apendiksitis kronik. Sedangkan apendiksitis kronik
nyeri hebat atau tidak teratasi dan penanganannya harus dengan pembedahan atau
apendiktomy. Apendiktomy adalah pemotongan saluran apendiks yang terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo, Tjockronegoro
dan Hendra Utama. 1992. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi ke-3. Jakarta : FKUI
Doengos,E marlyn.2002. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta
Hidayat, Sjamsu. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Rivisi.
Jakarta : EGC
Kowalak, P. Jennifer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
Salemba Medika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih atas kunjungannya..
semoga bermanfaat.. :)