Rabu, 06 Juni 2012

HIPOFISEPOSTERIOR


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sistem endokrin dalam kaitanya dengan system syaraf, mengontrol dan memadukan fungsi tubuh. Kedua system ini bersama-sama bekarja untuk mempertahankan homeostatis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain berhubungan, namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Misalnya medulla adrenal dan kelenjar hipofise posterior yang mempunyai asal dari saraf (neural) jika keduanya dihancurkan atau di ikat, maka fungsi dari kedua ginjal ini sebagian diambil alih oleh system syaraf. Terdapat 2 tipe kelenjar yaitu eksokrin dan endokrin. Kelenjar eksokrin melapaskan sekresinya kedalam duktus pada permukaan tubuh, seperti kulit atau organ internal, seperti lapisan traktus intestinal.Kelenjar endokrin termasuk hepar, pancreas (kelenjar eksokrin dan endokrin), payudara kelenjar lakrimalis untuk air mata. Sebaliknya kelenjar endokrin langsung melepaskan ekskresi langsung kedalam darah. Kelenjar endokrin termasuk :
1.    pulau lagerhans pada pancreas
2.    gonad (ovarium dan testis)
3.    kelenjar adrenal, hipofise,tiroid dan paratiroid serta timus.
Infusiensi hipofise menyebabkan hipofungsi organ sekunder. Hipofungsi hipofise jarang terjadi, namun dapat saja terjadi dalam setiap kelompok usia. Kondisi ini dapat mengenai semua sel hipofise (panhipopituitarisme) atau hanya sel-sel tertentu, terbatas pada suatu subset sel-sel hipofise anterior (mis: hipogonadisme sekunder terhadap defisiensi sel-sel gonadotropik) atau sel-sel hipofiseposterior (mis: diabetes insipidus).

1.2 Rumusan Masalah
1.    Bagaimana anatomi dan fisiologi pada hipofise posterior ?
2.    Bagimana hormone yang dihasilkan hipofise posterior ?
3.    Bagaimana manifestasi dari hipofungsi dan hiperfungsi ?
4.    Bagaimana definisi dari ADH dan oksitosin ?
5.    Bagaimana patofisiologi dan WOC ?
6.    Bagaimana asuhan keperawatan pada gangguan lobus posterior ?

1.3 Tujuan
a. Tujuan umum
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai asuhan keperawatanpada klien dengan gangguan kelenjar hipofise yaitu dengan hipopituitari posterior seperti diabetes insipidus dan SIADH.
b. Tujuan Khusus
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan khusus yaitu:
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi pada hipofise posterior
2. Untuk mengetahui hormone yang dihasilkan hipofise posterior
3. Untuk mengetahui manifestasi dari hipofungsi dan hiperfungsi
4. Untuk mengetahui definisi dari ADH dan oksitosin
5. Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada gangguan lobus posterior

1.4 Manfaat Penulisan
Dengan disusunnya makalah ini, diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk lebih mendalami tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan kelenjar pituitari yaitu dengan hipopituitari posterior seperti diabetes insipidus dan SIADH.





BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hipotalamus dan Kelenjar Hipofisis Posterior
Kelenjar hipofisis posterior terutama terdiri atas sel-sel glia yang disebut pituisit. Namun, pituisit ini tidak mensekresi hormon, sel ini hanya bekerja sebagai struktur penunjang bagi banyak sekali ujung-ujung serat saraf dan bagian terminal akhir serat dari jaras saraf yang berasal dari nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikel hipotalamus.
Jaras saraf ini berjalan menuju ke neuro hipofisis melalui tangkai hipofisis, bagian akhir saraf ini merupakan knop bulat yang mengandung banyak granula-granula sekretonik, yang terletak pada permukaan kapiler tempat granula-granula tersebut mensekresikan hormon hipofisis posterior berikut: Hormon antidiuretik (ADH) yang juga disebut sebagai vasopresin yaitu senyawa oktapeptida yang merupakan produk utama hipofise posterior.
 Memainkan peranan fisiologik yang penting dalam pengaturan metabolisme air.  Hormon antidiuretik (ADH) dalam jumlah sedikit sekali, sekecil 2 nanogram, bila disuntukkan ke orang dapat menyebabkan anti diuresis yaitu penurunan ekskresi air oleh ginjal. Stimulus yang lazim menimbulkan ekskresi ADH adalah peningkatan osmolaritas plasma. Dalam keadaan normal osmolaritas plasma dipertahankan secara ketat sebesar 280 mOsm/kg plasma. Kalau terjadi kehilangan air ekstraselular, osmolaritas plasma akan meningkat shingga mengaktifkan osmoreseptor, kemudian sinyal untuk pelepasan ADH, peningkatan osmolaritas plasma juga merangsang pusat rasa haus yang secara anatomis berdekatan / berhubungan dengan nukleus supraoptikus.
Kerja ADH untuk mempertahankan jumlah air tubuh terutama terjadi pada sel – sel ductus colligens ginjal. ADH mengerahkan kemampuannya yang baik untuk mengubah permeabilitas membran sel epitel sehingga meningkatkan keluarnya air dari tubulus ke dalam cairan hipertonik diruang pertibuler / interstisial. Aktifitas ADH dan rasa haus yang saling terintigritas itu sangat efektif untuk mempertahankan osmolaritas cairan tubuh dalam batas – batas yang sangat sempit.
2.2 Hormon yang Dihasilkan
2.2.1 Hormon Hipofisi Posterior
Vasopresin dan OksitosinHormon peptida vasopresin dan oksitosin disintesis di nucleussupraopticus dan paraventricularishypothalami. Akson dari neuron di nukleus-nukleus ini membentuk hipofisis posterior, tempat hormon-hormon peptida ini disimpan. Karena itu, untuk memicu pelepasan vasopresin atau oksitosin, setterpisah releasing factor hipotalamus tidak diperlukan.
a. Vasopresin (ADH)
Respon terhadap peningkatan ringan osmolalitas darah, “osmostat” hipotalamus bereaksidengan memicu rasa haus, pada saat yang sama, menyebabkan pelepasan vasopresin. Vasopresinmeningkatkan jumlah kanal air aktif di membran sel ductus colligens ginjal sehingga air bebas dapat dihemat. Hal ini meningkatkan kepekatan urine. Penghematan air bebas dan stimulasi rasa haus memiliki efek akhir berupa koreksi perubahan ringan osmolalitas darah.
Vasopresin berikatan dengan sedikitnya tiga kelas reseptor. Salah satu kelas resptor vasopressin ditemukan otot polos. Efek utama resptor ini adalah memicu vasokontriksi. Reseptor V2 dijumpai dikortikotrop, dan reseptor ini berperan meningkatkan sekresi ACTH. Kelas resptor yang lain (V2) ditemukan di nefron distal di ginjal; fungsi utamanya adalah memerantarai efek vasopresin terhadaposmolalitas. Karena efeknya yang diperantarai oleh reseptor V2 ini, vasopresin juga dikenal sebagai hormon antidiuretik (ADH).
Hubungan diantara gaya osmotik, volume, dan sekresi vasopressin diilustrasikan. Meskipun fungsi utama vasopresin adalah mempertahankan osmolalitas darah, sekresihormon ini juga ditingkatkan oleh penurunan tajam volume intravaskular. Hal ini membantu aldosterone meningkatkan volume intravaskular, meskipun dengan pengorbanan berupa penurunan osmolitas. Kombinasi vasokontriksi perifer dan retensi air yang diperantarai oleh ADH (dalam keadaan hipotensimeskipun osmolaritas normal atau rendah) dapat dipahami sebagai suatu cara yang dilakukan olehtubuh untuk mempertahankan perfusi dalam menghadapi dafisit volume intravaskular yang besar,bahkan ketika volume dan komposisi osmolar darah tidak ideal.
Pelepasan ADH dipengaruhi keadaan kurang cairan / dehidrasi. Sel targetnya adalah tubulus dan arteriol.berfungsi :
1)      meningkatkan TD
2)      meningkatkan absorsi di tubulus distal
3)      menurunkan krja otot saluran GI
4)      meningkatkan penahanan air oleh ginjal
Hormon ini membantu tubuh menahan jumlah air yang memadai. Jika terjadi dehidrasi, maka reseptor khusus di jantung, paru-paru. Otak dan aorta, mengirimkan sinyal kepada kelenjar hipofisa untuk menghasilkan lebih banyak hormon antidiuretik. Kadar elektrolit (misalnya natrium, klorida dan kalium) dalam darah harus dipertahankan dalam angka tertentu agar sel-sel berfungsi secara normal. Kadar elektrolit yang tinggi (yang dirasakan oleh otak) akan merangsang pelepasan hormon antidiuretik.
Pelepasan hormon antidiuretik juga dirangsang oleh nyeri, stress, olah raga, kadar gula darah yang rendah, angiotensin, prostaglandin dan obat-obat tertentu (misalnya klorpropamid, obat-obat kolinergik dan beberapa obat yang digunakan untuk mengobati asma dan emfisema).
Alkohol, steroid tertentu dan beberapa zat lainnya menekan pembentukan hormon antidiuretik. Kekurangan hormon ini menyebabkan diabetes insipidus, yaitu suatu keadaan dimana ginjal terlalu banyak membuang air.
b) Oksitosin
Oksitosin adalah suatu hormon yang diproduksi di hipotalamus dan diangkut lewat aliran aksoplasmik ke hipofisis posterior yang jika mendapatkan stimulasi yang tepat hormon ini akan dilepas kedalam darah. Hormon ini di beri nama oksitosin berdasarkan efek fisiologisnya yakni percepatan proses persalinan dengan merangsang kontraksi otot polos uterus. Peranan fisiologik lain yang dimiliki oleh hormon ini adalah meningkatkan ejeksi ASI dari kelenjar mammae. Seperti vasopresin, peptida ini disimpan diujung saraf neuron hipotalaus di hipofisis posterior.Peptida ini berperan penting dalam kontraksi otot polos uterus dan payudara baik selama menyusui maupun pada kontraksi rahim sewaktu persalinan.

Factor
Meningkatkan Sekresi
Menghambat Sekresi
Neurogenik
Tidur stadium III dan IV Stress (traumatik, bedah, peradangan,psikis)
Agonis adrenergik-alfa
Antagonis adrenergik-beta
Agonis dopamine
Agonis asetilkolin
Tidur REM
Antagonis adrenergik-alfa
Agonis adrenergik-beta



Antagonis Asetilkolin
Metabolik
Hipoglikemia
Puasa
Penurunan kadar asam lemak
Asam amino
Diabetes melitus tak-terkontrol
UremiaSirosis hati
Hiperglikemia

Peningkatan kadar asam lemak

Obesitas
Hormonal
GNRH
Insulin-like growth factor yang rendah
 Estrogen
Glukagon

Vasopresin arginin
Somastostatin
Insulin-like growth factor 
yang  Tinggi
Hipotiroidisme
Kadar glukokortikoid yang tinggi


2.3 Manifestasi hipofungsi dan hiperfungsi
Timbul sesuai dengan gejala kekurangan hormone target organ yang terutama karenakurangnya fungsi kelenjar gonad, adrenal dan tiroid.
1)         Penurunan BB yang ekstrim.
2)         Kerontokan rambut.
3)         Impotensi
4)         Amenore
5)         Hipometabolisme.
6)         Hipoglikemia.
7)         Hemianopsia bitemporer karena kerusakan kiasma optikum dan mungkin gangguan saraf otak.
Gejala-gajala lokal lainya karena tekanan (Biasanya oleh tumor) menimbulkan sakit kepala.
Pelepasan oksitosin dipengaruhi oleh hisapan dan persalinan. Sel targetnya adalah uterus dan payudara.berfungsi :
1)         menyebabkan kontraksi rahim selama proses persalinan dan segera setelah
2)         persalinan untuk mencegah perdarahan
3)         merangsang kontraksi sel-sel tertentu di payudara yang mengelilingi kelenjar susu
Pengisapan puting susu merangsang pelepasan oksitosin oleh hipofisa. Sel-sel di dalam payudar berkontraksi, sehingga air susu mengalir dari dalam payudara ke puting susu.

2.4 ADH dan Oksitosin Dalam Hipofungsi dan Hiperfungsi
2.4.1 ADH
a. Hiperfungsi hormon ADH
Sering kali terjadi akibat penigkatan pembentukan ADH di hipotalamus, missal, karena stress. Selain itu, ADH dapat dibentuk secara ektopik pada tumor (terutama small cell carsinoma bronchus) atau penyakit paru. Hal ini menyebabkan penurunan eksresi air (oligouria). Konsentrasi komponen urin yang sukar larut dalam jumlah yang bermakna dapat menyebabkan pembentukan batu urin (urolitiasis). Pada waktu yang bersamaan terjadi penurunan osmolaritas ekstrasel (hiperhidrasi hipotonik) sehingga terjadi pembengkakan sel. Hal ini terutama berbahaya jika menyebabkan edema serebri.
b.Hipofungsi hormon ADH
Terjadi jika pelepasan ADH berkurang, seperti pada diabetes insipidus sentralis yang diturunkan secara genetic, pada kerusakan neuron, missal oleh penyakit autoimun, atau trauma kelenjar hipofisis lainnya. Penyebab eksogen lainnya termasuk alkohol atau pajanan terhadap dingin. Di sisi lain, ADH mungkin gagal mempengaruhi ginjal, bahkan jika jumlah yang dieksresikan normal, misal pada kerusakan kanal air, atau jika kemampuan pemekatan ginjla terganggu, seperti pad defisiensi K+, kelebihan Ca2+, atau inflamasi medilla ginjal. Penurunan pelepasan ADH atau efek yang timbul akibat pengeluaran urin yang kurangpekat dalam jumlah besar dan dehidrasi hipertonik menyebabkan penyusutan sel. Pasien akan dipaksa mengkompensasi kehilangan air melalui ginjal dengan meminum banyak air (polidipsia). Jika osmoreseptor dihipotalamus rusak, defisiensi ADH akan disertai dengan hipodipsia dan dehidrasi hipertonik akan menjadi sangat nyata.
2.4.2 Mekanisme Kerja Oksitosin
Pada otot polos uterus. Mekanisme kerja dari oksitosin belum diketahui pasti, hormon ini akan menyebabkan kontraksi otot polos uterus sehingga digunakan dalam dosis farmakologik untuk menginduksi persalinan. Sebelum bayi lahir pada proses persalinan yang timbul spontan ternyata rahim sangat peka terhadap oksitosin Dengan dosis beberapa miliunit permenit intra vena, rahim yang hamil sudah berkontraksi demikian kuat sehingga seakan-akan dapat membunuh janin yang ada didalamnya atau merobek rahim itu sendiri atau kedua-duanya.
Kehamilan akan berlangsung dengan jumlah hari yang sudah ditentukan untuk masing-masing spesies tetapi faktor yang menyebabkan berakhirnya suatu kehamilan masih belum diketahui. Pengaruh hormonal memang dicurigai tetapi masih belum terbukti. Estrogen dan progesterone merupakan factor yang dicurigai mengingat kedua hormon ini mempengaruhi kontraktilitas uterus. Juga terdapat bukti bahwa katekolamin turut terlibat dalam proses induksi persalinan.
Karena oksitosin merangsang kontraktilitas uterus maka hormon ini digunakan untuk memperlancar persalinan, tetapi tidak akan memulai persalinan kecuali kehamilan sudah aterm. Didalam uterus terdapat reseptor oksitosin 100 kali lebih banyak pada kehamilan aterm dibandingkan dengan kehamilan awal. Jumlah estrogen yang meningkat pada kehamilan aterm dapat memperbesar jumlah reseptor oksitosin. Begitu proses persalinan dimulai serviks akan berdilatasi sehinga memulai refleks neural yang menstimulasi pelepasan oksitosin dan kontraksi uterus selanjutnya. Faktor mekanik seperti jumlah regangan atau gaya yang terjadi pada otot, mungkin merupakan hal penting.

Pada kelenjar mammae . Fungsi fisiologik lain yang kemungkinan besar dimiliki oleh oksitosin adalah merangsang kontraksi sel mioepitel yang mengelilingi mammae, fungsi fisiologik ini meningkatkan gerakan ASI kedalam duktus alveolaris dan memungkinkan terjadinya ejeksi ASI. Reseptor membran untuk oksitosin ditemukan baik dalam jaringan uterus maupun mammae. Jumlah reseptor ini bertambah oleh pengaruh estrogen dan berkurang oleh pengaruh progesterone. Kenaikan kadar estrogen yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar progester6n dan terlihat sesaat sebelum persalinan mungkin bisa menjelaskan awal laktasi sebelum persalinan. Derivat progesterone lazim digunakan untuk menghambat laktasi postpartum pada manusia.

Pada ginjal. ADH dan oksitosin disekresikan secara terpisah kedalam darah bersama neurofisinnya. Kedua hormon ini beredar dalam bentuk tak terikat dengan protein dan mempunyai waktu paruh plasma yang sangat pendek yaitu berkisar 2-4 menit. Oksitosin mempunyai struktur kimia yang sangat mirip dengan Vasopresin/ADH, sebagaimana diperlihatkan dibawah ini:

Cys-Tyr-Phe-Gln-Asn- Cys-Pro-Arg-Gly-NH2 : Arginin Vasopresin
Cys-Tyr-Phe-Gln-Asn- Cys-Pro-Lys -Gly-NH2 : Lisin Vasopresin
Cys-Tyr-Lie-Gln-Asn- Cys-Pro-Arg-Gly-NH2 : Oksitosin
Masing-masing hormon ini merupakan senyawa nono apeptida yang mengandung molekul sistein pada posisi 1 dan 6 yang dihubungkan oleh jembatan S—S. Sebagian besar binatang menpunyai Arginin Vasopresin, meskipun demikian hormon pada babi dan spesies lain yang terkait, mempunyai lisin yang tersubtitusi pada posisi 8. Karena kemiripan structural yang erat tersebut tidaklah mengherankan kalau oksitosin dan ADH masing-masing memperlihatkan sebagian efek yang sama/tumpang tindih.
Salah satu efek penting yang tidak diingini pada oksitosin adalah anti diuresis yang terutama disebabkan oleh reabsorbsi air. Abdul Karim dan Assali (1961) menunjukan dengan jelas bahwa pada wanita hamil maupun tidak hamil oksitosin mempunyai aktivitas anti diuresis. Pada wanita yang mengalami diuresis sebagai akibat pemberian air, apabila diberikan infus dengan 20 miliunit oksitosin permenit, biasnya akan mengakibatkan produksi air seni menurun. Kalau dosis ditingkatkan menjadi 40 miliunit permenit, produksi air seni sangat menurun. Dengan dosis yang sama apabila diberikan dalam cairan dekstorse tanpa elektrolit dalam volume yang besar akan dapat menimbulkan intoksikasi air. Pada umunnya kalau pemberian oksitosin dalam dosis yang relatif tinggi dalam jangka waktu yang agak lama maka lebih baik meningkatkan konsentrasi hormon ini dari pada menambah jumlah cairan dengan konsentrasi hormon yang rendah . Efek anti diuresis pemberian oksitosin intravena hilang dalam waktu beberapa menit setelah infus dihentikan. Pemberian oksitosin im dengan dosis 5-10 unit tiap 15-30 menit juga menimbulkan anti diuresis tetapi kemungkinan keracunan air tidak terlalu besar karena tidak desertakan pemberian cairan tanpa elektrolit dalam jumlah besar. Oksitosin dan hormon ADH memiliki rumus bangun yang sangat mirip , hal ini akan menjelaskan mengapa fungsi kedua hormon ini saling tumpang tindih. Peptida ini terutama dimetabolisme dihati, sekalipun eksresi adrenal ADH menyebabkan hilangnya sebagian hormon ini dengan jumlah yang bermakna dari dalam darah.
Gugus kimia yang penting bagi kerja oksitosin mencakup gugus amino primer pada sistein dengan ujung terminal –amino: gugus fenolik pada tirosin ; gugus tiga carboksiamida pada aspa-ragin, glutamin serta glisinamida; dan ikatan disulfida (s----s). Delesi atau subtitusi gugus ini pernah menghasilkan sejumlah analog oksitosin. Sebagai contoh penghapusan gugus amino primer bebas pada belahan terminal residu sistein menghasilkan desamino oksitosin yang memiliki aktivitas anti diuretika empat hingga lima kali lebih kuat dari pada aktivitas anti diuretika hormon oksitosin.
Pada pembuluh darah Oksitosin bekerja pada reseptor hormon antidiuretik (ADH) untuk menyebabkan penurunan tekanan darah khususnya diastolik karena vasodilatasi. Secher dan kawan-kawan (1978) selalu mendapatkan adanya penurunan tekanan darah arterial sesaat namun cukup nyata apabila pada wanita sehat diberikan 10 unit bolus oksitosin secara intravena kemudian segera diikuti kenaikan kardiak autput yang cepat. Mereka juga menyimpulkan bahwa perubahan henodinamik ini dapat membahayakan jiwa seorang ibu bila sebelumnya sudah terjadi hipovolemi atau mereka yang mempunyai penyakit jantung yang membatasi kardiak autput atau yang mengalami komplikasi adanya hubungan pintas dari kanan kekiri. Dengan demikian maka oksitosin sebaiknya tidak diberikan secara intravena dalam bentuk bolus, melainkan dalam larutan yang lebih encer, dalam bentuk infus atau diberikan suntikan intramuskular.

Oksitosin sintetik

Sekresi oksitosin endogenus tidak disupresi oleh mekanisme umpan balik negatif, ini berarti bahwa oksitosin sintetis tidak akan mensupresi pelepasan oksitosin endogenus. Oksitosin dapat diberikan intramuskular, intravena, sublingual maupun intranasal. Pemakaian pompa infus dianjurkan untuk pemberian oksitosin lewat intravena. Oksitosin bekerja satu menit setelah pemberian intravena, peningkatan kontraksi uterus dimulai segera setelah pemberian . Waktu paruh oksitosin diperkirakan berkisar 1-20 menit bahkan apabila oksitosin diberikan itravena maka waktu paruhnya sangat pendek yaitu diperkirakan 3 menit. Data terakhir menyebutkan sekitar 15 menit. Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-40 menit setelah pemberian

Stimulasi uterus dengan oksitosin pada persalinan hipotonik

Perlu diperhatikan dulu apakah jalan lahir cukup luas untuk ukuran kepala janin dan apakah kepala janin juga dalam posisi fleksi yang baik, sehingga diameter yang terkecil kepala janin yang akan menyesuaikan dengan jalan lahir ( diameter biparietal dan suboccipitobregmatika ). Suatu kesempitan panggul adalah tidak mungkin bila semua criteria dibawah ini kita jumpai:
a. Konjugata diagonalis normal
b. Bila dinding lateral panggul sejajar
c. Spina ischiadika tidak menonjol
d. Sakrum tidak mendatar
e. Arkus pubis tidak sempit
f. Bagian terendah janin adalah oksiput
g. Bila dilakukan dorongan pada fundus maka kepala janin akan turun melewati pintu atas panggul
Jika kriteria diatas tidak dipenuhi, ,maka pilihannya adalah seksio sesaria. Bila dipergunakan oksitosin, maka harus dilakukan pengawasan ketat terhadap denyut jantung janin dan pola kontraksi uterus, frekuensi, intensitas, lamanya, dan waktu relaksasi serta hubungannya dengan denyut jantung janin diamati secara ketat. Bila denyut jantung tidak diawasi terus menerus, maka penting sekali untuk melakukan pemeriksaan denyut jantung janin segera setelah kontraksi uterus, dan tidak harus menunggu satu menit atau lebih.

2.5 Patofisiologi dan WOC
2.5.1 Diabetes Inspidus
Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan-badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju keujung - ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic. Suatu peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin. Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik (yaitu Adenosin Mono Fosfat).
 Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yangsempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O.Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal meningkat karena berkurang permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria ataubanyak kencing. Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus, dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabilamasih meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak (polidipsia).
  2.5.2 SIADH
Pengeluaran berlanjut dari  menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan duktus. Volume cairan ekstra selluler meningkat dengan hiponatremi dilusional. alam kondisi hiponatremi menekan renin dan sekresi aldosteron menyebabkan penurunan Na direabsorbsi tubulus proximal.alam keadaan normal, mengatur osmolaritas serum. Bila osmolaritas serum menurun, mekanisme feedback akan menyebabkan inhibisi Hal ini akan mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan osmolaritas serum menjadi normal. Pada pelepasan berlanjut tanpa control umpan balik, walaupun osmolaritas plasma darahdan volume darah meningkat. Kelainan biokimiawi pada keadaan yang kronik, Na turun Kalium naik, kadang - kadang terdapat keadaan yang disertai semua kadar elektrolit dalam serum masih normal dan satu-satunya kelainan biokimiawi hanya hipoglikemi. Atrofi adrenal yang idiopatik menyebabkan korteks kolaps, sel-sel kolaps yang masih hidup mengalami pembesaran dengan sitoplasma eosinofil. ( Black dan Matassarin Jacob, 1993).
Kadar natrium serum (dan karenanya osmolalitas) dalam keadaan normal ditentukan oleh keseimbangan asupan air, penyaluran zat terlarut oleh ginjal (suatu tahap penting dalam ekskresi air),dan retensi air di tubulus distal yang diperantarai oleh vasopressin. Penyakit di salah satu dari factor-faktor keseimbangan normal natrium ini, atau factor yang mengontrolnya, dan menyebabkan hiponatremia. Hiponatremia terjadi jika besar gangguan melebihi kapasitas mekanisme homeostasis untuk mengompensasi disfungsi yang terjadi. Karena itu, peningkatan biasa asupan air umumnya dikompensasi melalui diuresis air oleh ginjal. Pengecualiannya adalah (1)jika ingesti air berlangsungekstrem (lebih besar daripada sekitar 18 L yang dapat diekskresikan oleh ginjal) atau (2) jika penyaluran zat terlarut oleh ginjal terbatas (misalnya pada deplesi garam) sehingga kemampuan ginjal mengekskresikan air bebas berkurang. Pada keadaan hipoadrenal, pengeluaran natrium melalui ginjal yang terjadi akibat ketiadaan aldosteron memiliki dua konsentrasi. Hal yang utama,deplesi volume akibat pengeluaran natrium ginjal menyebabkan pelepasan vasopressin; meskipun rangsangan utama untuk sekresi adalah peningkatan osmolaritas plasma, pelepasan juga dirangasang oleh rendahnya volume intravaskuler.Kedua, berkurangnya penyaluran zat terlarut ginjal mengganggu kemampuan ginjal untuk mengeluarkan kelebihan air, pada kasus ketika ingesti air melebihi pengeluaran air melalui rute non-ginjal.





























BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Diabetes Insipidus
3.1.1 Pengertian
Diabetes insipidus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membrane basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskopis. (Kapita Selekta Kedoteran : 2000)
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit dengan simtoma poliuria dan  polidipsia.  Jenis Diabetes insipidus yang paling sering dijumpai adalah Diabetes insipidus sentral, yang disebabkan oleh defisiensi arginina pada hormon AVP.     Jenis kedua adalah Diabetes insipidus nefrogenis yang disebabkan oleh kurang  pekanya ginjal terhadap hormon dengan sifat anti-diuretik, seperti AVP.
Diabetes insipidus adalah pengeluaran cairan dari tubuh dalam jumlah yang banyak yangdisebabkan oleh dua hal :
  1. Gagalnya pengeluaran vasopressin
  2. Gagalnya ginjal terhadap rangsangan AVP.
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan, penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat menganggu mekanisme neurohypophyseal renal reflex sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengkoversi air. (zulkiflithamrin.blogspot.com/2007/.../diabetes-insipidus.html ).
Diabetes insipidus adalah suatu sindrom poliuria yang terjadi akibat ketidakmampuan tubuh memekatkan urine sehingga menghemat air akibat ketiadaan efek vasopressin. (McPHEE, Stephen :2011).
Jadi menurut kelompok Diabetes Insipidus adalah sindroma yang ditandai dengan poliuria dan polidipsi akibat terganggunya sekresi vasopressin oleh system saraf pusat yang dapat disebut dengan diabetes insipidus sentral dan akibat kegagalan ginjal dalam rangsangan AVP dan ketidakmampuan responsive tubulus ginjal terhadap vasopressin yang dapat disebut dengan diabetes insipidus nefrogenik.

3.1.2 Etiologi
Diabetes insipidus dapat terjadi sekunder akibat (akibat lanjut) trauma kepala, tumor otak atau operasi ablasi, atau penyinaran pada kelenjar hipofisis. Kelainan ini dapat pula terjadi bersama dengan infeksi system saraf pusat (meningitis, ensefalitis) atau tumor (misalnya, kelainan metastatic, limfoma dari payudara dan paru).
Penyebab diabetes insipidus yang lainnya adalah kegagalan tubulus renal untuk bereaksi terhadap ADH, bentuk nefrogenik dari diabetes insipidus yang berkaitan dengan keadaan hipokalemia, hiperkalsemia dan penggunaan sejumlah obat (misalnya lithium, demeclocyclin).
Diabetes insipidus disebabkan oleh :
  1. Penyakit system saraf pusat (diabetes insipidus sentral) yang mengenai sintesis atau sekresi vasopressin
  2. Penyakit ginjal (diabetes insipidus nefrogenik) kerena lenyapnya kemampuan ginjal untuk berespons terhadap vasopressin dalam darah dengan menghemat air.
  3. Pada kehamilan, kemungkinan peningkatan bersihan metabolic vasopressin. Pada diabetes insipidus sentral dan nefrogenik, urin bersifat hipotonik. Kausa sentral tersering adalah kecelakaan trauma kepala, tumor intracranial, dan pasca bedah intracranial. Kausa yang lebih tercantum adalah:
1) Diabetes insipidus sentral
a)      Herediter, familia (autosomal dominan)
b)      diopatik
c)      Traumatic atau pasca bedah
d)     Penyakit neoplasma : kraniofaringioma, limfoma, meningioma, karsinoma metastatic
e)      Penyakit iskemik / hipoksik :sindrom Sheehan, aneurisma, henti kardiopulmonal, bedah pintasaortocoronaria, syok, kematian otak.
f)       Penyakit granulomatosa : sarkoidosis, histiositosis X
g)      Infeksi : ensefalitisviral, meningitis bacterial

2) Penyakit autoimun Diabetes insipidus nefrogenik
Diabetes insipidus nefrogenik (DIN) adalah diabetes insipidus yang tidak responsive terhadap ADH eksogen. DIN dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
a)      Herediter, familia (dua tipe)
(1) Penyakit ginjal kronik
(2) Penyakit ginjal polikistik
(3) Medullary cystic diseasePielonefretis
(4) Obstruksi ureteral / Obstruksi pascarenal
(5) Gagal ginjal lanjut
b) Gangguan elektrolitHipokalemiaHiperkalsemia
(1) Obat-obatan : litium, demoksiklin, metoksifluran, asetoheksamid, tolazamid, glikurid, propoksifen
(2) Penyakit sickle cell
(3) Gangguan diet
(a) Intake air yang berlebihan
(b) Penurunan intake NaCl
(c) Penurunan intake protein
c) Lain-lain
(1) Multipel myeloma
(2) Amiloidosis
(3) Penyakit Sjogren’s (penyakit autoimun yang menyerang sel imun sendir).
(4) Sarkoidosis
(5) Kehamilan
Diabetes insipidus nefrogenik dapat bersifat familia / disebabkan oleh kerusakan ginjal akibatobat. Sindrom mirip diabetes insipidus dapat terjadi akibat kelebihan mineralokortikoid, kehamilan, dankausa lain.
3) Diabetes insipidus nefrogenik sejati harus dibedakan dari dieresis  osmotic (dan karenanya,resisten-vasopresin).
Pengikisan gradient osmotic interstitial medulla, yang diperlukan untuk memekatkan urin, dapat terjadi pada dieresis berkepanjangan oleh sebab apapun dan mungkin disalah-tafsirkan sebagai diabetes insipidus sejati. Pada dieresis osmotic dan pengikisan medula, urin bersifat hipertonik / isotonic. Akhirnya, polidipsia primer ekstrem (meminum air berlebihan, sering akibat gangguan psikiatrik) menyebabkan pembentukan urin encer dalam jumlah besar dan kadar vasopres sinplasma yang rendah sehingga mirip dengan diabetes insipidus sejati.
3.1.3 Tanda dan Gejala
Simptoma klinis Diabetes Insipidus sangat mirip dengan simtoma pada  diabetes mellitus, hanyapadaDiabetes Insipidus tidak terjadi glikosuria, karena Diabetes Insipidus tidak mempunyai simtoma hiperglisemia.
Hiperuria Diabetes Insipidus dapat terjadi sepanjang waktu. Simptoma lain yang dapat terinduksi berupa demam, diare, mual, serta risiko dehidrasi dan defisiensi zat potasium, bahkan pada orang dewasa. Gambaran klinis awal diabetes insipidus adalah poliuria yang menetap di tengah keadaan yangnormalnya menyebabkan berkurangnya pengeluaran urin (misalnya dehidrasi), disertai rasa haus. Penderita dewasa mengeluh sering berkemih malam hari hari (nokturia).
Tidak terdapat gejala lain yang muncul jika pasien mampu mempertahankan asupan air untuk menggantikan kehilangan airnya. Volumeurin yang dihasilkan jika tidak terdapat vasopresin sama sekali dapat mencapai 10-20 L/hari. Karena itu, jika kemampuan pasien mempertahankan asupan cairan yang tinggi ini terganggu (misalnya oleh kecelakaan atau proses apapun yang menyebabkan terjadinya diabetes insipidus), timbul dehidrasi yangdapat cepat berkembang menjadi koma.
Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam sangat banyak , dapat mencapai 5-10 liter sehari. Berat jenis urin biasanya sangat rendah, berkisar antara 1,001- 1,005 atau 50 - 200 mOsmol/kg berat badan.Selain poliuria dan polidipsia , biasanya tidak terdapat gejala - gejala lain kecuali jika ada penyakit lain yang menyebabkan timbulnya gangguan pada mekanisme neurohypophyseal renal reflex.


3.1.4 Manifestasi
Tanpa kerja vasoneprin pada nefron ginjal, maka terjadi pengeluaran urin yang sangat encer seperti sir dengan berat jenis 1,001-1,005 dalam jumlah yang sangat besar setiap harinya. Urin tersebut tidak mengandung zat-zat yang biasa terdapat didalamnya seperti glukosa dan albumin. Karena rasa haus yang luar biasa (polidipsia), pasien cenderung minum 4-40 liter perhari dengan gejala khas ingin minum air dingin.
3.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa dibuat berdasarkan test kehilangan cairan, yang mana test ini potensial berbahaya bila dilakukan pada anak di rumah sakit walaupun intake cairan terbatas, volume urin tetap tinggi.
Dokter dan perawat harus dengan teliti memonitor tekanan darah, nadi, berat jenis urin,berat badan, urinoutput, osmolality serum dan status klinik, monitoring ini sangat penting untuk mencegah anak mengalami dehidrasi berat selama test.
1)   Test Dehidrasi
Diabetes Insipidus Central : urin sisa sedikit (osmolality rendah). Neprogenik : urin sisa sedikit psikogenik polidipsi, urin menjadi pekat,polidipsinya hebat (haus yang berlebihan), penampilan urin terbatas serta pekat selama test.
2)   Pada saat pemberian vasopresin dehidrasi
Diabetes Insipidus Central : urin menjadi pekat.
Diabetes Isipidus Neprogenik : tidak ada perubahan.
Psychogenik polidipsi : tidak ada perubahan.
3)   Test ketajaman mata : Kerusakan memberi kesan adanya lesi.
4)   CT - Scan
Untuk mendeteksi adanya lesi di hipotalamik pituitary.
Tes deprivasi cairan dilakukan dengan cara menghentikan pemberian cairan selama 8 -12 jam atau sampai terjadi penurunan berat badan sebesar 3% - 5%. Berat badan pasien harus sering diukur selama pemberian cairan dihentikan. Pengukuran osmolaritas plasma dan urin dilakukan pada awal dan akhir tes. Ketidakmampuan untuk meningkatkan berat jenis dan osmolaritas urin adalah tanda khas diabetes insipidus.
Penderita akan terus mengekspresikan urin dalam jumlah besar dengan berat jenisyang rendah dan akan mengalami penurunan berat badan, kenaikan osmolaritas serum serta peningkatan kadar kalsium serum. Kondisi pasien ini harus sering dipantau selama tes, dan tes tersebut dihentikan jika pasien mngalami takikardia, penurunan berat ekstrim atau hipotensi. Prosedur diagnostic yang lain adalah :
1)   pengukuran kadar vasopressin plasma yang dilakukan bersama dengan pengukuran osmolalitas plasma serta urin
2)   uji coba dengan menggunakan desmopresin (vasopressin sintetik)
3)   pemberian infuse larutan saline hipertonis. Setelah diagnose diabetes insipidus dipastikan tetapi penyebab tidak jelas (misalnya cdera kepala), kondisi pasien harus dikaji dengan cermat untuk menemukan kemungkinan adanya tumor yang menyebabkan kelainan tersebut.
3.1.6 Penatalaksaan Medis
Tujuan terapi adalah :
1)   Untuk menjamin pergantian cairan yang adekuat
2)   Mengganti vasopressin (yang biasanya merupakan program terapetik jangka panjang).
3)   Untuk meneliti dan mengoreksi kondisi patologis intracranial yang mendasari. Penyebab nefrogenik memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.
Penggantian dengan Vasopresin.Desmopresin (DDAVP), yaitu suatu preparat sintetik vasopressin yang tidak memiliki efek vaskuler ADH alami, merupakan preparat yang sangat berguna karena mempunyai durasi kerja yang lebih lama dan efek samping uang lebih sedikit jika dibandingkan dengan preparat lain yang pernah digunakan untuk mengobati penyakit ini. Preparat ini diberikan intranasal dengan menyemprotkan larutan obat ke dalam hidung melalui pipa plastic fleksibel yang sudah dikalibrasi. Dua hingga empat kali pemberian per hari telah dapat mengendalikan gejala diabetes insipidus. Preparat Lypresin (Diapid) merupakan preparat yang kerjanya singkat dan diabsorbsi lewat mukosa nasal ke dalam darah namun, kerja preparat ini terlampau singkat bagi penderita diabetes nsipidus yang berat. Jika kita akan menggunakan jalur intranasal dalam suatu pemberian obat, observasi kondisi pasien untuk mengetahui adanya rinofaringitis kronis.
Bentuk terapi yang lain adalah penyuntikan intra muscular ADH, yaitu vasopressin tannat dalam minyak, yang dilakukan bila pemberian intranasal tidak memungkinkan. Preparat suntikan ini diberikan setiap 24-96 jam. Botol obat suntik harus dihangatkan dahulu atau diguncang dengan kuat sebelum obat disuntikan. Penyuntikan dilakukan pada malam hari agar hasil yang optimal dicapai pada saat tidur. Kram abdomen merupakan efek samping obat tersebut. Rotasi lokasi penyuntikan harus dilakukanuntuk menghindari lipodistrofi.
Mempertahankan Cairan. Klofibrat, yang merupakan preparat hipolipidemik memiliki efek antidiuretik pada penderita diabetes insipidus yang masih sedikit mengalami vasopressin hipotalamik. Klorpropamid (Diabenase) dan preparat tiazida digunakan untuk penyakit yang ringan karena kedua preparat tersebut menguatkan kerja vasopressin namun dapat terjadi reaksi hipoglikemik.
Penyebab Nefrogenik. Jika diabetes insipidus disebabkan oleh gangguan ginjal, terapi ini tidakakn efektif. Preparat tiazida, penurunan garan yang ringan dan penyekat prostaglandin (ibuprofen, indometasin, serta aspirin) digunakan untuk mengobati bentuk nefrogenik diabetes insipidus.
Pengobatan pada Diabetes Insipidus harus sesuai dengan gejala yang ditimbulkannya. Pada pasien DIS parsial mekanisme haus yang tanpa gejala nokturia dan poliuria yang mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari tidak diperlukan terapi khusus.
Pada DIS yang komplit, biasanya diperlukan terapi hormone pengganti (hormonal replacement) DDAVP (1-desamino-8-d-arginine vasopressin) yang merupakan pilihan utama. Selain itu, bisa juga digunakan terapi adjuvant yang mengatur keseimbangan air, seperti:
1)   Diuretik Tiazid
2)   Klorpropamid
3)   Klofibrat
4)   Karbamazepin
3.1.8 Komplikasi
Dehidrasi berat dapat terjadi apabia jumah air yang diminum tidak adekuat. Ketidakseimbangan elektrolit, yaitu hipernatremia dan hipokalemia. Keadaan ini dapat menyebabkan denyut jantung menjadi tidak teratur dan dapat terjadi gagal jantung kongesti.

3.2 Sindrom Sekresi Hormon Antidiuretik yang Tidak Sesuai (SIADH)
3.2.1 Pengertian
Sindrom sekresi hormone antidiuretik yang tidak sesuai (SIADH; Syndrome of Inappropriate Antidiuretic HormoneScretion) mengacu pada sekresi ADH yang berlebihan dari kelenjar hipofisis dalam menghadapi osmolalitas serum subnormal. (Suzanne C.Smeltzer:2001).
SIADH adalah suatu karakteristik atau ciri dan tanda yang disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal mengabsorpsi atau menyerap air dalam bentuk ADH yang berasal dari hipofisis posterior. (BarbaraK.Timby).
SIADH adalah syndrome yang diakibatkan karena sekresi ADH yang berlebihan dari lobusposterior dan dari sumber ektopik yang lain. (Black dan Matassarin Jacob, 1993).
SIADH adalah gangguan yang berhubungan dengan peningkatan jumlah ADH akibat ketidakseimbangan cairan. (Corwin, 2001).SIADH adalah gangguan pada hipofisis posterior akibat peningkatan pengeluaran ADH sebagai respon terhadap peningkatan osmolaritas darah dalam tingkat yang lebih ringan. (Corwin, 2001)
Menurut kelompok SIADH adalah gangguan pada hipofisis posterior yang disebabkan oleh beberapa factor misalnya trauma, tumor, penyakit paru dan sebab-sebab yang lain yang dapat mengaibatkan peningkatan sekresi ADH yang berlebih dan terjadi hiponatremia.
3.2.2 Etiologi
Penyebab SIADH yaitu :
  1. Kelainan pada system saraf pusat, seperti atrofi serebrum senilis, hidrosefalus, delifiumtremens, psilosis akut, penyakit demielinisasi dan degenerative, penyakit peradangan, trauma/cedera kepala /cerebrovaskular accident , pembedahan pada otak, tumor (karsinuma bronkus,leukemia, limfoma, timoma, sarkoma) atau infeksi otak (ensepalitis, meningitis) dapat menimbulkan SIADH melalui stimulasi langsung kelenjar hipofisis.
  2. Beberapa obat (vasopressin, desmopresin asetat, klorpropamid, klofibrat, karbamazepin, vinkristin, fenotiazin, antidepresan trisiklik, preparat diuretic tiazida, dan lain-lain) dan nikotin dapat terlibat terjadinya SIADH; zat-zat tersebut dapat menstimulasi langsung kelenjar hipofisis atau meningkatkan sensitifitas tubulus renal terhadap ADH yang beredar dalam darah.
  3. Produksi dari vasopressin oleh sel tumor (seperti bronkogenik, pankreatik, kanker prostate dan limfoma dari duodenum, tymus dan kandung kemih adalah yang paling umum sering meyebabkan SIADH). (Black dan Matassarin, 1993)
  4. Factor lain yang menyebabkan SIADH :
1)      Kelebihan vasopressin- Peningkatan tekanan intracranial baik pada proses infeksi maupun trauma pada otak.
2)      Proses inflamasi (virus dan bakteri pneumonia)
3)      Obat yang dapat merangsang atau melepaskan vasopressin (vinuristin, cisplatin, danocytocin)
4)      Penyakit endokrin seperti insufisiensi adrenal, mixedema dan insufisiensi pituitary anterior.
5)      Penyakit paru seperti, infeksi: tuberculosis, pneumonia, abses, gagal napas akut, dan ventilasi tekanan positif.
6)      Idiopatik seperti diagnosis eksklusi.
e.Faktor Pencetus :
1)      Trauma Kepala
2)      Meningitis.
3)      Ensefalitis.
4)      Neoplasma.
5)      Cedera Serebrovaskuler.
6)      Pembedahan.
7)      Penyakit Endokrin. 
3.2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi yang berhubungan dengan SIADH adalah :
  1. Hiponatremi, kebingungan, kesadaran menurun / letargi sensitive koma, mobilitas gastrointestinal menurun (Anorexia).
  2. Peningkatan badan secara tiba-tiba (tapa oedema) sekitar 5-10 %.
  3. Distensi vena jugularis.
  4. Takhipnea
  5. Kelemahan
  6. Menurun BB
  7. Sakit kepala
  8. Mual dan muntah
  9. Kekacauan mental.
  10. Kejang generalisata.
  11. Penurunan keluaran urine
  12. Koma.
Berbagai manifestasi tersebut terjadi akibat pergesaran cairan osmotic dan edema otak serta peningkatan tekanan intracranial yang ditimbulkannya; pembengkakan otak yang dibatasi oleh ukuran tengkorak. Mekanisme fisiologis untuk melawan pembengkakan ini mencakup deplesi osmol intrasel,khususnya ion kalium. Semakin cepat perkembangan hiponatremia, semakin besar kemungkinan terjadinya edema otak dan peningkatan tekanan intracranial dan bahwa penyulit neurologis dan herniasi dapat menyebabkan kerusakan permanen. Namun, meskipun timbul secara perlahan, hiponatremia,pada kasus yang ekstrem (misalnya natriumserum <110 mEq/L) menyebabkan kejang dan gangguanstatus mental. Mielinolisispons sentral dapat terjadi dan menyebabkan kerusakan saraf permanen padapasien dengan hiponatremia yang dikoreksi terlalu cepat.
3.2.4 Penatalaksana Medis
Sindrom ini dapat ditangani dengan menghilangkan penyebab yang mendasari dan membatasi asupan cairan pasien. Karena air yang tertahan diekskresikan secara perlahan-lahan melalui ginjal, maka volume cairan ekstrasel akan menyusut dan konsentrasi natrium serum berangsur-angsur akan meningkat ke nilai normal. Preparat diuretic (misalnya furosemid [Lasix]) dapat digunakan bersama-sama pembatasan cairan jika terjadi hiponatremia berat.Tujuan penatalaksanaan pada SIADH yaitu:
a) Mencari penyebabnya jika mungkin
b) Ukur cairan elektrolit yang tidak seimbang
c) Cegah komplikas
Rencana non farmakologi
a) Pembatasan cairan (control kemungkinan kelebihan cairan) 
b) Pembatasan sodium
Rencana farmakologi:
a) Penggunaan diuretic untuk mencari plasma osmolaritas rendah
b) Obat / penggunaan obat demeeloculine, untuk menekan vosopresin
c) Hiperosmolaritas, volume oedema menurun
d) Ketidakseimbangan system metabolic, kandungan dari hipertonik saline 3 %secara perlahan-lahan mengatasihi ponatremi dan peningkatan osmolaritas serum (dengan peningkatan = overload) cairan dengan cara penyelesaian ini mungkin disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif.
g) Pengobatan khusus = prosedur pembedahan.
Pengangkatan jaringan yang mensekresikan ADH, apabila ADH bersal dari produksi tumor ektopik, maka terapi ditujukan untuk menghilangkan tumor   tersebut. Penyuluhan yang dilakukan bagi penderita SIADH antara lain :  
a. Pentingnya memenuhi batasan cairan untuk periode yang di programkan untuk membantu pasien merencanakan masukan cairan yang diizinkan (menghemat cairan untuk situasi socialdan rekreasi).
b.Perkaya diit dengan garam Na dan K dengan aman. Jika perlu, gunakan  diuretic secara kontinyu.
c. Timbang berat badan pasien sebagai indicator dehidrasi.
d. Indicator intoksikasi air dan hiponat : sakit kepala, mual, muntah, anoreksia segera lapordokter.
e. Obat-obatan yang meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, potensial efek samping.
f. Pentingnya tindak lanjut medis : tanggal dan waktu.
g. Untuk kasus ringan, retreksi cairan cukup dengan mengontrol gejala sampai sindrom secara spontan lenyap. Apabila penyakit lebih parah, maka diberikan diuretik dan obat yang menghambat kerja ADH di tubulus pengumpul. Kadang-kadang digunakan larutan natrium klorida hipertonik untuk meningkatkan konsentrasi natrium plasma. Apabila ADH berasal dari produksi tumor ektopik, maka terapi untuk menghilangkan tumor tersebut.
3.2.5 Komplikasi
Komplikasi :
Gejala - gejala neurologis dapat berkisar dari nyeri kepala dan konfunsi sampai kejang otot, koma dan intoksikasi air.



BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
a. Riwayat : trauma kepala, pembedahan kepala, pemakaian obat phenotoin, lithium karbamat, infeksi kranial, tumor paru.
Riwayat keluarga menderita kerusakan tubulus ginjal atau penyakit yang sama.
b. Pemeriksaan fisik
1)   Gastro intestinal : polidipsi, BB turun
2)   Kardiovaskular : tanda dehidrasi ( nadi cepat, TDturun, dll)
3)   Respirasi : tanda dehidrasi ( napas cepat, pucat )
4)   Renal : poliuria 5-30 lt/hari, sering berkemih, nocturia
5)   Integumen: membran mukosa dan kulit kering, turgor tidak elastis.
  1. Pemeriksaan penunjang:
1)   Hipoosmolar urine
2)   BJ urine kurang dari 1.005
3)   Gangguan elektrolit.
4.2 Analisa Data
  1. Data subyektif 
1)      Asal idiopatik
2)      Poliuria
3)      Polidipsia
4)      Nocturia
5)      Kelelahan
6)      Konstipasi
b. Data obyektif 
1)      Trauma kepala
2)      Bedah syaraf 
3)      Tumor hipotaamus
4)      Trauma
5)      Infeksi
6)      Penurunan BB
7)      Hipotensi ortostatik
8)      Penurunan CVP
9)      EKG mungkin terdapat takikardi
10)  Penggunaan obat-obatan
Misalnya : litium karbonat, penitoin (dilatin), demeklosiklin, amino glikosida.
4.3 Diagnosa Keperawatan
a.       Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan poliuria.
b.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
c.       Gangguan pola tidur berhubungan dengan nocturia.
d.      Anxietas berhubungan dengan perkembangan penyakit.
4.4 Intervensi Keperawatan
Dx 1.Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan poliuria.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan pasien terpenuhi.
NOC : Fluid balance
Criteria hasil :
a. Mempertahankan urin output sesuai dengan usia dan BB, BJ urin normal
b. TTV dalam batas normal.
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kuit baik, membrane mukosa lembab, tidak adarasa haus yang berlebihan.
Skala penilaian NOC :
1)      Tidak pernah menujukan
2)      Jarang menunjukan
3)      Kadang menunjukan
4)      Sering menunjukan
5)      Selalu menunjukan



NIC : Fluid management
Intervensi :
a. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
b. Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, nadi adekuat, TD ortostatik)
c. Monitor Vital sign
d. Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
e. Kolaborasikan pemberian cairan IV
f. Dorong masukan oral
Dx. 2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
NOC : Status nutrisi
Indicator :
a.       Stamina
b.      Tenaga
c.       Tidak ada kelelahan
d.      Daya tahan tubuh
Skala penilaian NOC :
1) Tidak pernah menujukan
2) Jarang menunjukan
3) Kadang menunjukan
4) Sering menunjukan
5) Selalu menunjukan
NIC : Nutrition monitoring
Intervensi :
a.       BB dalam batas normal
b.      Monitor adanya penurunan BB
c.       Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
d.      Monitor turgor kulit
e.       Monitor kalori dan intake nutrisi
f.        Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Dx. 3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nocturia.
Tujuan : seteah diakukan tindakan keperawatan diharapkan pola tidur pasien tidak terganggu.
NOC : Sleep
Criteria hasil :
1. Jam tidur cukup
2. Pola tidur baik
3. Kualitas tidur baik
4. Tidur tidak terganggu
5. Kebiasaan tidur.
Skala penilaian NOC :
1. Tidak pernah menujukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan
NIC : Peningkatan tidur
Intervensi :
a.       Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat selama sakit.
b.      Bantu pasien untuk mengidentifikasi factor yang menyebabkan kurang tidur.
c.       Dekatkan pispot agar pasien lebih mudah saat BAK pada malam hari.
d.      Anjurkan pasien untuk tidur siang.
e.       Ciptakan lingkungan yang nyaman.
Dx. 4. Anxietas berhubungan dengan perkembangan penyakit.
Tujuan : setelah diakukan tindakan keperawatan diharapkan rasa cemas pasien dapat berkurang.


NOC : Control cemas
Indikator :
1)      Monitor intensitas cemas
2)      Menyingkirkan tanda kecemasan
3)      Merencanakan strategi koping
4)      Menggunakan strategi koping yang efektif 
5)      Menggunakan tehnik relaksasi untuk mengurangi kecemasan
NIC : Penurunan kecemasan
Intervensi :
a.       Tenangkan klien
b.      Jelaskan seluruh prosedur tindakan kapada kien dan perasaan yang mungkin muncul pada saatdilakukan tindakan.
c.       Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan tindakan.
d.      Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan (takikardi, takipneu, ekspresi cemasnon verbal)
e.       Instruksikan pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi.
















BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hipopituitari adalah penurunan / tidak adanya sekresi hormon kelenjar hipofisis anterior. Hipopituitari sering di sebut juga hipofungsi kelenjar hipofisis.Diabetes Insipidus adalah sindroma yang ditandai dengan poliuria dan polidipsi akibat terganggunya sekresi vasopressin oleh system saraf pusat yang dapat disebut dengan diabetes insipidus sentral dan akibat kegagalan ginjal dalam rangsangan AVP dan ketidakmampuan responsive tubulus ginjal terhadap vasopressin yang dapat disebut dengan diabetes insipidus nefrogenik.
Di manifestasikan dengan poliuria dan polidipsia. SIADH adalah gangguan pada hipofisis posterior yang disebabkan oleh beberapa factor misalnya trauma, tumor, penyakit paru dan sebab-sebab yang lain yang dapat mengaibatkan peningkatan sekresi ADH yang berlebih dan terjadi hiponatremia.
5.2 Saran
Penulis memberi saran kepada :
5.2.1 Para pembaca pada umumnya agar lebih menjaga ginjal kita agar selalu berfungsi dengan baik, dengan mengetahui penyakit-penyakit yang berkaitan dengan tubuh kita misalnya diabetes insipidus, SIADH, dan atau hipopituitary anterior maupun posterior seperti yang telah dibahas dalam makalah ini diharapkan mampu menggunakan koping yang efektif dan dapat mencegahnya serta menghubungi dokter untuk tindak lanjut berikutnya.
5.2.2 Para mahasiswai khususnya supaya lebih memahami konsep penyakit-penyakit dan atau hipopituitari itu sendiri agar mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan hipopitutari anterior dan posterior.






Daftar Pustaka

Boughman,Diane C, JoAnn c Hackley.2000. Keperawatan Medical Bedah : Buku
Saku Untuk Perawat Brunner &Sudarth.Jakarta : EGC.
C. Long, Barbara.1996. Perawatan Medikal Bedah Edisi 3.Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan keperawatan.
Doengoes, Marilynn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: ECG.Ganang.W.F.1995.
Buku Ajar Fisiologi kedokteran Edisi 14.Jakarta : EGC.
Guyton.1987.Buku Ajar Fisiologi Manusia-Pnyakit Manusia.Jakarta : EGC.Guyton dan Hall.1997.
Buku Ajar Fisiologi K edokteran Edisi 9.Jakarta : EGC
Rina.(2011). Asuhan-Keperawatan-Pada-Klien-Dengan Ganggun Kelenjar Hipofise. http://rina-penkes.blogspot.com/2011/04/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan.html. Diakses tanggal 07 Maret 2012. Pukul 16.45
Annonymus.(2009). askep-Gangguan-Kelenjar-Hipofise .http://www.scribd.com/doc/2009/03/39579702/askep-Gangguan-Kelenjar Hipofise. Diakses tanggal 07 Maret 2012. Pukul 16.55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas kunjungannya..
semoga bermanfaat.. :)